Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Dion Wiyoko Doyan Makan Telur Rebus, Bestie Pak Menkes Nih!
Advertisement . Scroll to see content

Hindari Makanan dan Minuman yang Terpapar BPA, Dampaknya Gangguan Tumbuh Kembang pada Anak

Senin, 30 Mei 2022 - 14:37:00 WIB
Hindari Makanan dan Minuman yang Terpapar BPA, Dampaknya Gangguan Tumbuh Kembang pada Anak
Paparan Bisphenol A (BPA) menimbulkan perubahan perkembangan otak (Foto: Leafscore)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Memilih makanan dan minuman sehat menjadi pilihan penting saat ini. Sebisa mungkin, masyarakat dapat menghindari makanan dan minuman yang terpapar Bisphenol A (BPA).

Berbagai penelitian menunjukkan, paparan Bisphenol A (BPA) menimbulkan perubahan perkembangan otak secara dimorfik. Salah satunya, kajian sains berjudul “Dampak Paparan Bishpenol-A pada Brain Development dan Gangguan Perkembangan Mental” yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Farmasi Unair Surabaya, Prof. Junaedi Khotib.

Prof. Junaedi Khotib mengatakan, kajian tersebut mengatakan, perkembangan dan fisiologi hipotalamus neuroendokrin dan pengendalian keseimbangan energi mengalami gangguan, dan proses learning memori pada hipokampus mengalami penurunan.

Menurut Prof. Junaedi Khotib, adanya BPA akan menimbulkan kerusakan yang kompleks dengan melibatkan jalur hormonal dan epigenetik. 

Meski sampai saat ini, kuantitasi gangguan pada model tikus secara invivo belum dapat ditranslasikan ke dalam model dosis-response yang sangat jelas pada manusia, ini harus menjadi pemikiran dan peringatan akan adanya gangguan kesehatan yang akan terjadi ketika terdapat paparan BPA dan berdampak serius pada kesehatan manusia baik secara fisik maupun mental.

"Potensi dampak merugikan BPA pada diferensiasi dan fungsi otak sangat besar dan kompleks, karena perubahan yang dihasilkan kemudian dapat menyebabkan perubahan organik maupun perilaku organisme," kata Prof. Junaedi Khotib melalui keterangannya dikutip Senin (30/5/2022).

Menurut Prof. Junaedi Khotib, fokus penelitian tersebut untuk mengevaluasi dampak BPA terhadap gangguan pembentukan dan maturasi sel syaraf pada otak berdasarkan data invitro, invivo dan epidemiologi.

“Upaya ini berhubungan erat dalam mencegah timbulnya berbagai gangguan syaraf, mental, perilaku dan kualitas generasi Indonesia pada masa depan,” kata Prof. Junaidi Khotib.

Prof. Junaidi Khotib menambahkan, beberapa poin kesimpulan penting terkait penelitiannya. Pertama, paparan BPA pada kultur sel syaraf dan penyangga menghasilkan perubahan dalam aktivitas, proliferasi, deferensiasi serta fisiologi sel syaraf dan penyangga dalam mengekspresikan protein spesifik.

Kedua, paparan BPA secara invivo pada hewan coba pada fase prenatal dan neonatal menimbulkan perubahan diferensiasi, maturasi dan perkembangan sistem persyarafan dalam otak, yang berdampak pada perubahan perilaku dan learning memory hewan coba.

"Ketiga, paparan BPA berhubungan erat dengan kandungan BPA dalam urin dan marker kerusakan DNA. Hal tersebut berpeluang menimbulkan gangguan tumbuh kembang terutama pada ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder), ASD (Autism Spectrum Disorder) dan gangguan kesehatan mental pada anak-anak," ujar Prof. Junaidi Khotib. 

Berdasarkan kajian tersebut, Prof. Junaidi Khotib merekomendasikan empat langkah untuk mencegah paparan dan dampak merugikan pada manusia. Pertama, edukasi dan peningkatan kesadaran kepada masyarakat terkait dengan kemampuan secara bijak dalam memilih produk makanan atau minuman yang menggunakan kemasan primer yang bebas BPA.

Kedua, pendampingan pada produsen dalam meningkatkan costumer awareness melalui upaya menjaga keamanan produk dari paparan senyawa berbahaya bagi Kesehatan seperti BPA. Pengendalian dan monitoring penggunaan kemasan dapat dilakukan dengan baik.

Ketiga, komitmen dan tanggung jawab produsen dalam menjamin keamanan produk melalui studi pharmacovigilance yang intensif terkait dengan migrasi/pelepasan BPA dari kemasan dan dampak bagi kesehatan.

“Keempat, upaya Lembaga Autorisasi dalam perijinan produk makanan dan minuman dengan tidak melakukan pembiaran peluang pemaparan bahan berbahaya BPA melalui pemberian label pada kemasan primer pada makanan dan minuman," katanya.

Diketahui, Bisfenol-A (BPA) merupakan bahan kimia yang digunakan dalam kemasan plastik polikarbonat. Dengan BPA ini plastik diharapkan tak mudah hancur, sehingga bisa digunakan dengan baik sebagai wadah. Galon air mineral adalah salah satu yang menggunakan bahan kimia ini. Selain kemasan air berbahan plastik, BPA sebetulnya juga dijumpai pada kemasan berbagai makanan kalengan, perlengkapan rumah seperti pipa air, yang berupa lapisan plastik tipis.

BPA dapat mengalami migrasi dan mengontaminasi produk dalam kemasannya. Jika seseorang terpapar BPA yang merupakan senyawa endocrine disruptor (gangguan sistem endokrin) ini dalam jangka panjang atau terus menerus, inilah yang harus diwaspadai karena bisa berisiko pada kesehatannya. Pada beberapa penelitian telah menunjukkan intensitas dan durasi paparan sangat berkorelasi dengan kadar BPA dalam tubuh.

Pentingnya melindungi kesehatan manusia dari bahaya BPA yang menggerakkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) mengkaji kembali pengaturan pelabelan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Badan POM melakukan kajian scientific based (policy brief), yaitu meliputi kajian keamanan BPA, kajian dampak ekonomi kesehatan, kajian dampak lingkungan hidup, dan kajian dampak sosial.

Bahaya atas penggunaan produk yang terkontaminasi BPA terlebih pada bayi atau anak-anak, juga ditunjukkan oleh Kajian Otoritas Keamanan Pangan Eropa atau The European Food Safety Authority (EFSA) yang melakukan evaluasi ulang risiko BPA pada 2021 lalu.

Dalam kajian Scientific Opinion Re-evaluation of Bisphenol A (BPA) tersebut  EFSA Panel on Contact Materials, Enzymes, and Processing Aids (CEP) mengusulkan TDI baru BPA adalah 0,04 nanogram/kgBB/hari dan menyimpulkan terdapat concern kesehatan dari paparan BPA makanan untuk semua kelompok umur dari populasi umum.

Hasil perbandingan perkiraan paparan dengan asupan harian yang ditoleransi (tolerable daily intake atau TDI) baru menunjukkan paparan makanan rata-rata di semua kelompok umur (termasuk bayi dan balita) melebihi TDI 100.000 kali dibanding tahun 2015 (4 mikrogram/kgBB/hari). 

Oleh karena itu American Chemistry Council (ACC) pun mendorong EFSA untuk melakukan kajian ilmiah lebih lanjut. Sebagai catatan berdasarkan kajian TDI oleh EFSA, sejak 2018, Uni Eropa menurunkan batas migrasi BPA yang semula sebesar 0,6 bpj (bagian per juta) turun menjadi 0,05 bpj, hal ini menunjukkan tingkat risiko kesehatan BPA semakin tinggi.

Editor: Vien Dimyati

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut