"Tidak, kita baru pengkajian saja. Pengkajian melibatkan semua, termasuk dunia usaha, ada Dirut PLN, dari (Kementerian) Keuangan, Dirjen Minerba, semua sudah diikutsertakan," ujar Rosan.
Dia menyebut, opsi pencabutan kewajiban DMO sebesar 25 persen juga masih dipertimbangkan. Jika dicabut, kata Rosan, pemerintah harus memikirkan PLN karena sebagian besar bahan bakar pembangkit listrik masih mengandalkan batu bara.
Chairman Recapital Group itu menyebut, kewajiban menjual 25 persen produksi batu bara kepada PLN bisa saja dicabut karena porsi tersebut selama ini melebihi kebutuhan PLN. Dengan begitu, porsi itu bisa disesuaikan dengan kebutuhan riil di lapangan.
"Nah ini akan dilihat dari segi ekspor atau dari segi produksinya. Produksi kita kan 500 juta ton lebih. Sedangkan ekspor kita sekitar 400 juta ton. Nah apakah diambil dari ekspor atau dari produksi, ini juga sedang dikaji. Jadi ini akan dilihat case by case, jadi sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan kalorinya,” ujarnya.
Kendati demikian, Rosan mengungkapkan, perubahan kebijakan DMO batu bara lebih condong pada pencabutan batas harga (price cap) yang dipatok 70 dolar AS per metrik ton. Padahal, harga batu bara di pasar internasional telah melewati level 100 dolar AS per metrik ton.
"Nah, ini juga sedang dikaji, jadi DMOnya ini sedang dikaji lah. Tapi memang lebih dilihat masalah harganya," ucapnya.
Intinya, kata Rosan, perubahan kebijakan tersebut diharapkan tak menambah beban PLN karena sangat berpengaruh pada tarif listrik. Namun, dia juga berharap kebijakan DMO jangan sampai merugikan pengusaha batu bara