Setelah itu, pelanggannya melonjak drastis. Bisnisnya yang saat itu belum memiliki sistem yang mumpuni dan hanya dengan lima karyawan pun kelabakan dalam menerima lonjakan tersebut.
Adimas mengaku menerima banyak kritik karena pihaknya lamban dalam menyediakan pesanan pada saat itu. Apalagi, mereka belum menerapkan sistem nomor di meja yang menyebabkan pelayan kewalahan dalam mengingat pengunjung yang memesan jenis makanan tertentu. Pihaknya pun berbenah setelah lonjakan tersebut.
“Akhirnya kami mengunjungi tempat makan yang memiliki sistem pelayanan bagus. Kami melihat bagaimana mereka menerima dan menyediakan order, bagaimana menyambut tamu atau menggunakan terima kasih. Kami mulai belajar,” tuturnya.
Usahanya pun cukup digemari oleh masyarakat sekitar. Ketika ramai, bisnisnya bisa meraup omzet sekitar Rp8 juta hingga Rp15 juta. Tapi tentu tidak menutup kemungkinan ada waktu dimana bisnisnya sepi, Adimas mengatakan omzetnya saat sepi berkisar Rp500.000 hingga Rp600.000.
“Tapi gapapa, ada waktunya istirahat karena pegawai pasti kasian kalau dipaksa bekerja ketika ramai terus. Jadi kami tetap bersyukur,” ucapnya.