Tentu tidak mudah dalam mengembangkan bisnis donat tersebut. Ega mengatakan, ketika baru pertama kali membuka outlet, ada pembeli yang mencicipi donat dan langsung membuangnya tanpa mengucap sepatah kata pun. Berbagai evaluasi dan pembenahan pun dilakukan untuk mendapatkan resep terbaik dan menggunakan bahan-bahan berkualitas, hingga akhirnya mampu menjual donat hingga 2.000 pieces per hari saat ini.
“Padahal dulu kalau bikin 50 pieces, ada sisa 20 pieces, artinya hanya 30 yang terjual,” ucapnya.
Selain itu, Ega juga merasa diuntungkan dengan zaman yang serba digital saat ini. Pasalnya, untuk berjualan donat, ayahnya dulu harus menawarkan donat dari satu rumah ke rumah lainnya. Namun berkat digitalisasi, dia kini memasarkan produknya lewat media sosial dengan jangkauan yang lebih luas, seperti melalui Facebook atau marketplace.
Adapun nama Donat Si Bungsu didapatkan ketika Ega berbincang dengan ayahnya. Arti nama tersebut adalah donat miliknya memang paling kecil di antara kompetitor lain, namun donatnya juga bisa menghasilkan sesuatu yang besar.
“Arti Donat Si Bungsu ini kita tahu kan bungsu itu paling kecil di antara yang lain. Istilah bungsu bila di antara kompetitor atau dengan brand-brand luar yang namanya bagus-bagus, yang susah dihafal, kita kecil namun sesuatu yang kecil itu bisa kok menghasilkan sesuatu yang besar,” tuturnya.