Produksi minyak Rusia dinilai masih berada di luar jangkauan permintaan sebagian besar pasar global, akibat adanya sanksi Barat.
Dampak tersebut sebelumnya telah dimitigasi dengan strategi pelepasan cadangan minyak strategis, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, serta peningkatan produksi dari negara-negara pengekspor minyak bumi dan mitranya (OPEC+), meski hal itu dinilai masih belum mampu mengatasi masalah pasokan lebih lanjut.
"Jika Washington tetap dalam kebijakannya saat ini, cadangan strategis AS akan mencapai level terendah selama 40 tahun mecapai 358 juta barel pada Oktober mendatang," ujar ANZ.
Di tengah keraguan analis, produksi minyak dan gas AS justru dilaporkan meningkat. Data perusahaan jasa energi Baker Hughes Co melaporkan jumlah rig minyak dan gas, sebuah indikator awal untul melihat produksi di masa depan, naik sebanyak tujuh unit menjadi 740 per 17 Juni, tertinggi sejak Maret 2020.
Di Libya, produksi minyak tetap masih bergejolak menyusul krisis politik domestik. Menteri Perminyakan Libya Mohamed Oun mengatakan, total produksi negara itu sekitar 700.000 barel per hari (bph). Pekan lalu, produksi minyak Libya berada pada 100.000-150.000 bph.
Dari daratan Asia, nilai ekspor produk minyak dari China dilaporkan terus menurun, mengingat kebijakan pembatasan baru akibat Covid-19 dikhawatirkan mengganggu konsumsi minyak.
Ekspor bensin di negara itu pada Mei 2022 anjlok 45,5 persen yoy dan ekspor solar merosot 92,7 persen yoy. Data bea cukai China menunjukkan berkurangnya permintaan domestik juga sejalan dengan pengurangan kuota ekspor perusahaan.