"Suplai penerbangan domestik hanya delapan maskapai, sementara yang di luar negeri bisa banyak," ujar Ashkara.
Direktur Utama Garuda Indonesia itu menjelaskan, pemerintah belum pernah mengubah tarif batas bawah dan tarif batas atas sejak 2016. Padahal, harga minyak dan kurs rupiah berubah cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir.
"Bahan bakar juga sudah naik 125 persen. Labour juga mengalami kenaikan. Kami tidak ada mendapatkan kenaikan harga yang terjadi sejak Lebaran Nataru (Natal dan Tahun Baru) 2016, tidak ada yang melebihi batas dari pemerintah," tutur Ari.
Situasi ini menekan kondisi maskapai. Akibatnya, maskapai "bermain" di batas atas. Pada Nataru 2019, Garuda mengoperasikan penerbangan kelas ekonomi dengan subc-lass tertinggi, sehingga harga tiket menjadi mahal.
Pengamat penerbangan Alvin Lie menjelaskan, harga tiket domestik yang tidak kunjung turun sejak peak season disebabkan adanya persaingan harga di pasaran.
"Sejak Oktober 2018 Garuda selalu jual hanya tiket ekonomi sub-class tertinggi (Y-Class). Hal ini membuka peluang bagi yang lain ikutan naik. Semua airlines sedang berdarah-darah akibat perang harga beberapa tahun terakhir," kata Alvin kepada iNews.id.
Menurutnya, kenaikan harga tiket ekonomi dilakukan maskapai untuk menjaga keuangan perusahaan.