“Salah satu modal terbesar pedagang ada di rokok. Perputaran penjualan rokok itu cepat dan kontribusinya juga besar ke omzet, jadi sangat terpengaruh oleh kenaikan cukai. Oleh karena itu, kita berharap pemerintah, mengkaji ulang kebijakan kenaikan cukai rokok karena ekonomi nasional harus stabil dulu. Jangan dinaikkan dulu cukainya karena kita harus lihat apakah daya beli masyarakat sudah membaik atau belum,” tuturnya.
Data Badan Pusat Statistik mencatat, pada Juli 2022 terjadi inflasi sebesar 0,64 persen. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang terbesar dengan tingkat kenaikan indeks harga konsumen sampai 1,16 persen. Selama ini, pemerintah masih menempatkan inflasi sebagai salah satu ancaman terbesar karena melemahkan daya beli masyarakat.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (Akrindo) Anang Zunaedi juga mengatakan kenaikan cukai rokok merugikan pelaku industri baik dari sisi hulu maupun hilir termasuk pedagang ritel.
Menurut Anang, rokok merupakan penyumbang pendapatan terbesar di tingkat pedagang ritel sehingga kenaikan cukai rokok sangat berdampak bagi pendapatan. Dia mencatat kenaikan cukai rokok tidak efektif untuk menurunkan konsumsi rokok karena adanya pergeseran konsumsi ke rokok yang lebih murah.
“Kenaikan cukai yang berlebihan tidak berdampak pada penurunan prevalensi, hanya menggeser perokok memilih rokok lebih murah. Jadi tidak efektif kalau malah banyak rokok ilegal” ujarnya.