Namun, sejak Rusia mengakui Republik Donetsk dan Lugansk pada 21 Februari 2022, sinyal penguatan dolar mulai muncul, sekaligus membuat rupiah bergerak cukup tajam ke bawah hingga akhir Juni 2022 di level Rp14.895, mendekati level psikologisnya.
"Jika krisis terhadap ekonomi dunia muncul, maka dolar AS bisa melonjak secara signifikan," kata Ekonom Commonwealth Bank of Australia, Joseph Capurso, dikutip dari Reuters, Selasa (20/12/2022).
Akhirnya, pada 6 Juli 2022, rupiah resmi menyentuh level Rp15.017, tetapi masih cukup fluktuatif di level Rp14.800-Rp14.900. Hal itu disebabkan adanya optimisme pertumbuhan ekonomi dalam negeri di atas 5 persen selama tiga kuartal berturut-turut yang mengimbangi depresiasi.
Beberapa bulan berjalan, rupiah kembali anjlok dan bertahan di Rp15.000an sejak 21 September 2022. Sejak saat itu, rupiah mulai bergerak di area psikologis baru, menapaki pelemahan di awal kuartal IV 2022.
Adapun jurang paling dalam yang dicapai rupiah tahun ini adalah di level Rp15.760, yang terjadi pada 4 November 2022. Hingga Selasa (21/12/2022), rupiah parkir di level Rp15.605 per 1 dolar AS.
"Salah satu risiko inflasi yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini adalah shock pada rupiah saat sentimen risk-off menguat bila resesi terjadi," kata Ibrahim yang akrab disapa Ibra.
Dia mewanti-wanti apabila kenaikan harga tak terbendung, BI diproyeksikan masih akan mengerek suku bunga acuan hingga 6 persen pada 2023.
"Ini akan mengulang sejarah 2018, saat suku bunga mencapai 6 persen di akhir 2018, perlambatan ekonomi cenderung terjadi pada 2019," tutur Ibra.