Di sisi lain, ia juga menyoroti kapasitas riset dan pengembangan industri farmasi di Indonesia. Menurutnya, pemerintah bisa meningkatkan kapasitas ini melalui peningkatan anggaran riset dan pengembangan.
"Saat ini anggaran riset dan pengembangan Indonesia merupakan yang terkecil di G-20, yakni 0,2% dari GDP," ungkap Ronald.
Dia mengatakan, industri farmasi Indonesia dinilai masih ada persoalan, yakni perihal keterjangkauan harga dengan kemandirian produksi.
Harga obat yang terjangkau dan kemandirian industri farmasi merupakan dua tujuan penting namun berbeda. Harga obat yang terjangkau dapat dicapai melalui impor bahan baku obat (BBO), sementara hal itu bertentangan dengan kemandirian industri farmasi.
Sedangkan kemandirian industri farmasi dalam jangka panjang memang dapat membuat harga obat terjangkau. Namun hal ini tidak mudah karena dibutuhkan kapabilitas riset dan pengembangan yang tinggi.
"Ada beberapa opsi untuk mengembangkan industri farmasi yang dapat diambil Indonesia," ujar Ronald.