Agus menambahkan, bahwa dengan front loading yang telah dilakukan di 2020 sampai 2022, upaya untuk menjaga kualitas kredit ini berdampak terhadap cost of credit BRI yang terus membaik. Adapun Cost of Credit (CoC) BRI hingga kuartal III-2023 berada di level 2,44 persen atau membaik jika dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 3,02 persen.
Di sisi lain, sebagai bagian dari soft landing strategy, BRI juga tetap menyediakan pencadangan yang memadai. Di mana sampai September 2023, LAR Coverage BRI mencapai 50,92 persen, dan akan tetap dijaga di atas 50 persen. Namun karena upaya bersih-bersih, portfolio tersebut dilakukan antara lain melalui hapus buku pinjaman NPL, maka NPL Coverage BRI turun ke level 228,65 persen.
Namun demikian, rasio tersebut masih lebih tinggi dibandingkan level pre-pandemi sebesar 185,9 persen di 2018 dan 154,63 persen di 2019.
Di sisi lain, lanjut Agus, penurunan NPL coverage ini adalah strategi BRI untuk melakukan hapus buku terhadap kredit-kredit UMKM, terutama di segmen mikro dan kecil, yang terdampak Covid-19 dan tidak dilakukan restrukturisasi lanjutan.
Dengan demikian, strategi BRI dalam menghadapi kondisi saat ini sejalan dengan kebijakan relaksasi dari OJK yang akan berakhir pada Maret 2024. Sebab, lanjutnya, dampak dari pandemi Covid-19 terhadap kredit yang direstrukturisasi belum tentu 100 persen berhasil.
Dengan LLR di kisaran 7,0 persen atau jauh di atas rasio tahun-tahun sebelum pandemi yaitu 3,0 persen hingga 4,5 persen. Bahkan, khusus LLR pada portofolio kredit restrukturisasi Covid mencapai level 34,7 persen. Maka cadangan kerugian kredit BRI masih dirasa cukup untuk meng-cover potensi pemburukan pada 2024.
“Dengan posisi LAR Coverage di atas 50 persen dan NPL Coverage di atas 200 persen, cadangan BRI masih cukup untuk mengantisipasi risiko pemburukan di tahun 2024,” tutur Agus.