Analis dari pialang minyak PVM, Tamas Varga menyebut, lompatan harga minyak mentah menuju 100 dolar AS per barel hal yang masuk akal, di mana hal ini dipengaruhi kendala produksi dari Arab Saudi dan Rusia, kekurangan struktural bahan bakar diesel di Eropa, dan konsensus yang berkembang bahwa siklus pengetatan saat ini akan berdampak buruk bagi perekonomian.
“Meskipun demikian, reli seperti itu juga memerlukan tekanan inflasi baru. Oleh karena itu, saya yakin lonjakan apa pun menuju 100 dolar AS per barel hanya akan berumur pendek,” tuturnya.
Sebelumnya, Badan Energi Internasional (IEA) memperingatkan bahwa kendala produksi di Arab Saudi dan Rusia kemungkinan akan mengakibatkan defisit pasar yang besar hingga kuartal IV 2023.
Otoritas energi terkemuka dunia mengatakan dalam laporan minyak bulanannya bahwa pembatasan produksi oleh anggota OPEC dan non-OPEC lebih dari 2,5 juta barel per hari sejak awal tahun sejauh ini telah diimbangi oleh anggota di luar aliansi OPEC+, seperti negara-negara anggota OPEC+ AS dan Brasil.
“Mulai bulan September dan seterusnya, hilangnya produksi OPEC+, yang dipimpin oleh Arab Saudi, akan menyebabkan kekurangan pasokan yang signifikan hingga kuartal keempat,” ucap IEA.