"Kalau berbicara soal pensiun, penetrasinya dalam perekonomian masyarakat kita, lalu dari sisi fintech, dilihat dari sisi keberadaan perannya dan literasi dari masyarakat," imbuh dia.
Sri Mulyani menyebut, indikator sukses akan tampak dari volume yang menggambarkan pendalaman dan diversitas dari instrumennya, kedewasaan dari institusi pelaku usaha maupun regulatornya.
"Karena enggak mungkin regulatornya advanced pelaku usahanya ketinggalan, atau sebaliknya, pelaku usahanya sudah advanced, regulatornya ketinggalan, pasti nanti akan terjadi koreksi yang tidak menyenangkan," ucap dia.
Selain itu, dari sisi perlindungan terhadap konsumen, dalam UU P2SK sangat banyak disebutkan mengenai literasi. Jika berbicara soal literasi perbankan, menurut Sri Mulyani, itu sudah yang paling tinggi dalam total aset keuangan di Indonesia, tapi masih di bawah 50 persen. Fintech sebagai industri keuangan dengan teknologi digital, literasinya baru 10 persen.
"Artinya, produknya sudah dikenal, apalagi dengan teknologi digital mudah sekali penetrasi ke pikiran dan keputusan oleh individu, tetapi masyarakat tidak tahu what they are deciding. Ini yang menyebabkan terjadinya banyak excess-excess negatif," tuturnya.
"Kita maunya volume, kedalaman, baik dari segi institusi dan kedewasaannya, instrumennya, regulatornya, dan literasi dari masyarakatnya," tambah Sri Mulyani.