Mengenai persoalan PPN sembako yang menjadi polemik, Yustinus menilai, ada distorsi informasi kepada masyarakat. Dia mencontohkan, tak semua beras adalah barang murah, misalnya beras premium yang harganya bisa mencapai Rp50.000 per kilogram.
Jelas beras dengan harga tersebut hanya mampu dibeli orang kaya, namun tidak dikenakan pajak sama seperti beras di pasar yang seharga Rp10.000 per kilogram.
"Ini ada distorsi, jadi pengecualian yang terlalu luas itu membuat kita gagal mengadminitrasikan dengan baik dan gagal mengajak yang mampu untuk berkontribusi membayar pajak. Ini yang sebenarnya ingin kita atasi," ungkap Yustinus.
Padahal dengan diatur dalam RUU KUP, lanjutnya, barang-barang yang termasuk kategori mahal atau premium bisa masuk ke sistem perpajakan yang lebih baik, yang lebih mudah diawasi dan diadministrasikan.
"Apa langsung dikenai pajak? Belum tentu. Jadi apa yang jadi objek PPN ini tidak serta merta dikenai pajak. Kok bisa? Bisa kalau kita ekspor, itu pajak 0 persen. Senjata yang dipakai TNI dan Polri itu kena pajak, tapi karena dianggap strategis, tidak dipungut pajaknya," jelas Yustinus.
Contoh lain, buku pelajaran dan agama termasuk barang strategis, dimana pajaknya tidak dipungut. Begitu pula barang hasil pertanian, yang saat ini dikenakan PPN 1 persen.
"Jadi pemerintah menemukan distorsi, pemerintah ingin yang adil, maka diperbaiki. Maka disodori skema tarif, supaya tarif 10 persen yang berlaku pukul rata saat ini, tidak peduli daya beli konsumen, nantinya disediakan dalam konsep multi tarif," ungkap Yustinus.
Dia memaparkan, bagi barang yang hanya bisa dikonsumsi kelompok atas, disediakan ruang bisa kena pajak antara 15 persen hingga 20 persen (tarif tinggi).
Bagi barang yang dibutuhkan masyarakat banyak, yang kena 10 persen, susu formula misalnya, itu bisa diturunkan pajaknya menjadi 5 persen, begitu pula dengan barang-barang strategis lainnya yang diperlukan masyarakat luas, bisa bisa dikenakan PPN final antara 1-2 persen, atau bahkan nanti bisa dimasukkan untuk kategori PPN 0 persen alias tidak dipungut biaya.
"Kira-kira demikian konstruksinya, untuk mencapai keadilan. Karena di pajak, kalau mau sederhana, tidak adil kalau pukul rata tarifnya, tapi kalau mau adil, memang harus rumit sedikit, jadi memang harus disampaikan detail ke publik, jangan dicantolkan atau dicomot sepotong-sepotong. Yang pasti barang kebutuhan pokok tidak kena pajak," tutur Yustinus.