Sementara itu, Fathul Nugroho menyoroti tentang industri hulu migas yang memiliki tantangan dan risiko sangat besar, nilainya hingga miliaran dollar. Pertamina berkompetisi dengan negara-negara di seluruh dunia.
"Saat ini investasi luar negeri untuk industri migas di sektor hulu kebanyakan ke Amerika Utara, sekitar 40 persen, di Middle East sekitar 20-30 persen, sisanya 30 persen ke seluruh dunia. Kita memperebutkan sisa investasi yang sebesar 30 persen tersebut," tuturnya.
Karena itu, menurut Fathul, fiskal dan insentif yang ditawarkan Indonesia harus bisa menarik international oil company. "Agar bagaimana mereka melakukan eksplorasi dan mendevelop lapangan-lapangan frontier dan marginal yang ada di Indonesia," ujarnya.
Saat ini permasalahan utama yang dihadapi industri migas Indonesia adalah lifting decline yang disebabkan penurunan produksi, dan teknologi yang sudah ketinggalan. Dalam sepuluh tahun terakhir terjadi penurunan produksi minyak 3 persen.
"Kita harus genjot eksplorasi agar menemukan cadangan baru untuk meningkatkan produksi. Kita masih bisa produksi 500 ribu barel per hari sampai tahun 2030. Untuk mencapai 1 juta barel per hari perlu dilakukan percepatan Enhance Oil Recovery (EOR). Tantangannya adalah investasi dan regulasi. Kita berharap ada perbaikan tata kelola, dan segera revisi UU Migas."
Sementara Asep Samsul Arifin, VP Upstream Business Planning & Portfolio Management PT Pertamina Hulu Energi, mengatakan, sebagai investor, saat ini wilayah kerja Pertamina Hulu Energi sebanyak 26 persen ada di dalam negeri, beberapa persen lainnya di luar negeri. "Dari 26 persen tersebut kami menyumbang sekitar 63 persen produksi nasional," katanya.
Tantangan lainnya yang dihadapi Pertamina menurut Asep adalah teknologi yang tertinggal. Yang bisa dilakukan sekarang adalah memelihara dan men-develop sumur eksisten yang sustainable produksinya.