Tupperware bangkrut karena permintaan produk wadah penyimpanan makanan itu terus menurun dan utang yang tinggi. Perusahaan telah melewati negosiasi yang berlarut-larut dengan para pemberi pinjaman mengenai cara mengelola utang lebih dari 700 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp10,74 triliun. Para pemberi pinjaman sepakat untuk memberi sedikit kelonggaran pada tahun ini atas ketentuan pinjaman yang dilanggar, tetapi kondisi perusahaan terus memburuk.
Sebenarnya Tupperware juga sudah bertahun-tahun memperingatkan keraguan mereka dalam kemampuannya untuk tetap menjalankan bisnis. Pada bulan Maret, perusahaan yang didirikan pada tahun 1946 oleh Earl Tupper ini mengakui tidak yakin bisnisnya bisa terus berjalan dan menghadapi krisis likuiditas.
Pada bulan Juni, Tupperware berencana untuk menutup satu-satunya pabriknya di AS dan memberhentikan hampir 150 karyawan. Tupperware juga telah mengganti Kepala Eksekutif Miguel Fernandez, menunjuk Laurie Ann Goldman sebagai CEO baru dan beberapa anggota dewan pada tahun lalu demi membalikkan kondisi bisnis.
Penjualan Tupperware sempat meningkat saat pandemi Covid-19 karena situasi saat itu membuat orang-orang harus tinggal di rumah dan memasak. Wadah penyimpanan Tupperware menjadi pilihan. Namun, setelah pandemi berakhir hingga sekarang, penjualan menurun.
Biaya bahan baku yang naik, tenaga kerja dan biaya pengiriman yang semakin naik turut menekan margin Tupperware hingga sulit bertahan. Tupperware akhirnya menyerah dan bangkrut.