Dari sentimen internal, ekonom menilai urgensi kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2025 hanya dilakukan karena termaktub dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang diteken pada 2021. Adapun, keinginan pemerintah menambah penerimaan negara lewat kenaikan PPN dikhawatirkan memukul daya beli masyarakat saat ini.
Semangat menaikkan PPN dalam Undang-Undang (UU) No.7/2021 yang diteken pada tiga tahun silam sudah berbeda dengan kondisi sekarang. Kala itu, defisit fiskal diperbolehkan di atas 3 persen dan berdampak pada pembiayaan yang cukup besar. Melalui semangat untuk menambah penerimaan negara, PPN naik menjadi 11 persen.
Melihat realisasi defisit APBN 2024 yang mencapai 1,37 persen dari PDB atau setara Rp309,2 triliun per Oktober 2024. Ekonom meyakini defisit akan lebih rendah dari target sebesar Rp522,8 triliun atau 2,29 persen dari PDB. Artinya, akan ada potensi tambahan Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang dapat menutup defisit APBN tahun depan tanpa menggunakan utang.
Berdasarkan data di atas, mata uang rupiah untuk perdagangan berikutnya diprediksi bergerak fluktuatif, namun kembali ditutup menguat di rentang Rp15.850-Rp15.910 per dolar AS.