JAKARTA, iNews.id - Kenaikan harga daging sapi di pasaran membuat para pedagang merugi karena sepi pembeli. Hal tersebut membuat pedagang daging di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) menggelar aksi mogok dagang selama tiga hari pada 20-23 Januari 2021, akibat besarnya kerugian yang harus mereka tanggung.
Kenaikan harga daging disinyalir karena naiknya harga dari produsen. Kenaikan harga karkas di rumah potong hewan dipicu oleh naiknya harga sapi bakalan asal Australia selama satu semester terakhir. Meski sudah kembali berjualan, terpantau harga daging di pasaran masih belum turun, yakni di kisaran Rp120.000 - Rp125.000 per kilogram.
Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Djoni Liano mengungkapkan, Indonesia belum bisa melepaskan ketergantungan terhadap sapi impor yang mayoritas berasal dari Australia. Berdasarkan data yang dihimpun Gapuspindo, ekspor sapi bakalan Australia diperkirakan turun dari 1,3 juta ekor tahun 2019 menjadi 900.000 ekor pada 2020. Sebanyak 60 persen di antaranya diserap Indonesia.
”Australia tengah membatasi ekspor karena produsen sapi di sana ingin memulihkan populasi. Padahal, permintaan global meningkat. Dampaknya, harga melonjak. Negara yang sanggup membayar dengan harga yang ada akan mendapatkannya (sapi bakalan),” jelas Djoni.
Mulai dari impor hingga tata kelola distribusi daging turut menjadi fakor tingginya harga daging di pasaran. Lantas bagaimana para pedagang, pelaku usaha pangan, dan pemerintah menyikapi serta mencari solusi dari permasalahan ini?