Di tengah pandemi, Presiden Jokowi mengizinkan Sri Mulyani untuk memperlebar defisit APBN lewat Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020. Defisit yang selama ini dibatasi maksimal tiga persen dari PDB dilepas. Hingga akhir November, defisit APBN telah mencapai 5,6 persen, setara Rp883,7 triliun.
Tekornya APBN mau tidak mau membuat utang pemerintah makin membesar. Posisi utang pemerintah per November 2020 mencapai Rp5.910 triliun, naik lebih dari Rp1.000 triliun bila dibandingkan posisi pada akhir November 2019 yang sebesar Rp4.814 triliun.
Tren peningkatan utang semakin masif selama pandemi. Alhasil, pemerintah harus gali lubang tutup lubang untuk membiayai APBN. Hal ini terlihat dari neraca keseimbangan primer yang dalam tiga tahun terakhir terus membaik kembali menembus Rp582,7 triliun.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy menilai, kenaikan utang sebenarnya sudah terjadi sebelum pandemi. Kenaikan itu lantaran program infrastruktur yang membutuhkan pendanaan besar.
"Ketika pandemi Covid-19 terjadi, kondisi makin kompleks bagi Indonesia karena utang sebelum pandemi dan juga kebutuhan belanja yang makin besar akibat penanganan pandemi," ucapnya.
Yusuf menilai, kondisi semacam ini juga terjadi pada negara-negara berkembang. Namun, hal perlu diwaspadai karena utang yang besar bisa menjadi beban bagi generasi berikutnya.