Sementara, yang terus ditekankan pemerintah adalah bagaimana merevisi UU yang dapat memudahkan dunia usaha dan perdagangan, serta mengurangi hak pekerja. Sementara penanganan korupsi justru dikesampingkan.
Terbukti dengan munculnya UU KPK/2019 yang mengebiri kewenangan lembaga anti rasuah tersebut. Padahal, menurut Teguh, jika ingin investasi berbondong-bondong masuk, jaminan penanganan korupsi yang baik harus diberikan pemerintah kepada investor.
"Nah, kalau kita mau reformasi di bidang investasi maka pemecahan yang harus dilakukan adalah bagaimana investor itu yakin korupsi bisa dicegah dan ditangani secara utuh oleh Indonesia," kata Teguh.
Lebih jauh, persoalan korupsi telah menjadi satu bagian integral dari praktik buruk birokrasi di Indonesia. Saking lumrahnya, bahkan berbagai pihak terpaksa mengikuti praktik culas tersebut demi kelancaran izin dan usahanya.
"Jadi jelas kalau kita mengikuti narasi pendukung UU Ciptaker, baik pemerintah dan DPR, maka investasi ini bisa masuk dengan cetar membahana ke Indonesia kalau korupsi ditangani. Karena korupsi ini merugikan banyak pihak. Bahkan pelaku korupsi bisa dikatakan banyak yang terpaksa juga demi izin dan bisnis lancar dia melakukan praktik korupsi," ujarnya.
Adapun, menurutnya, sesat pikir selanjutnya yang diidap pemerintah dalam proses akselerasi UU Ciptaker ini adalah minimnya pelibatan masyarakat dan berbagai pihak terkait dalam penggodokan UU Omnibus Law Ini.
"Walaupun suara-suara buruh, dan suara-suara pegiat lingkungan hidup sudah disuarakan tapi tetap saja agenda ini dijalankan, jadi sekali lagi kami ingin menegaskan bahwa RUU ini dipaksakan lahir prematur. Sudah pasti berisiko, dan proses pembuatannya sesat pikir dan menegaskan negara sedang menunjukkan arogansinya dalam pengabdian pada investasi dan mengabaikan kepentingan umum," kata Teguh.