Heri menjelaskan, peringkat kemudahan berusaha atau ease of doing business Indonesia saat ini turun ke posisi 73 dari sebelumnya 72, di mana pilar enforcing contract (penegakan kontrak) Indonesia di posisi paling rendah.
"Nah global melihat, wah Indonesia suka tidak konsisten terhadap kontrak yang sudah disepakati dan ini berujung kepada susahnya naik peringkat kita," ucap Heri.
Ia pun berharap kasus yang terjadi antara KBN dan KTU tidak terulang kembali dengan mengubah kontrak yang telah disepakati sejak awal oleh kedua belah pihak.
"Kasus ini harus dijadikan pelajaran agar ke depan lebih baik lagi. Kontrak yang sudah disepakati di tengah jalan, hanya pergantian direksi kok boleh diubah, jadi kontrak yang lama diabaikan," kata Heri.
Polemik pembangunan Pelabuhan Marunda tidak kunjung henti. KBN dan PT Karya Tekhnik Utama (KTU) membentuk anak usaha PT KCN dengan porsi kepemilikan saham KBN 15 persen (Goodwill) yang tidak akan terdelusi dan KTU 85 persen.
Seiring berjalannya waktu, KBN meminta revisi komposisi saham yang akhirnya disepakati menjadi 50:50. Namun KBN tak mampu menyetor modal hingga batas waktu yang ditentukan karena ternyata tidak diizinkan oleh Kementerian BUMN sebagai pemilik saham KBN dan juga Dewan Komisaris PT KBN.