"Kita tak tahu apa kebijakan ke depannya, sebenarnya kita masih bisa mengubah arah dan menghindari lonjakan krisis ini, tetapi jelas itu tidaklah mudah,” ujar direktur jenderal Rumah Sakit Universitas Rafic Hariri, Firass Abiad, dikutip dari akun Twitter miliknya.
Saat ini, tingkat pengangguran Lebanon telah melebihi 30 persen hingga akhir Mei 2020. Sementara nilai mata uang pound Lebanon terhadap dolar terus merosot, dan harga barang dan kebutuhan pokok kian melambung. Bahkan, pemerintah setempat meminta ekspatriat kembali pada musim panas, untuk membawa uang tunai kembali ke negara itu.
Pound Lebanon, yang telah dipatok ke dolar AS sejak 1997, telah kehilangan 80 persen nilainya sejak Oktober 2019. Pemerintah Lebanon tengah mencari pinjaman 10 miliar Dolar AS (Rp143,98 triliun) dari Dana Moneter Internasional (IMF), setidaknya sudah 16 kali bernegosiasi namun tak kunjung dapatkan persetujuan.