JAKARTA, iNews.id - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang diusulkan pemerintah tahun depan rata-rata sebesar 8,03 persen.
Presiden KSPI Said Iqbal menyebut, formula kenaikan UMP yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tidak tepat. Menurut dia, formasi inflasi plus pertumbuhan ekonomi nasional sebagai dasar penghitungan kenaikan UMP tidak sesuai dengan kenaikan harga-harga bahan pokok. Akibatnya, daya beli buruh bisa berkurang.
Said menilai, KSPI menolak PP 78/2015 sejak pertama kali diterbitkan. Dia mendorong agar UMP didasarkan pada angka kebutuhan hidup layak (KHL) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Said mengatakan, angka KHL yang mencakup sejumlah komoditas seperti beras, telur ayam, transportasi (BBM), listrik, hingga sewa rumah lebih dari 8,03 persen. Hal itu didasarkan pada survei KHL di beberapa daerah yang dilakukan KSPI bersama FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia).
"Kenaikan upah minimum idealnya 20-25 persen kami dapat berdasarkan survey pasar di berbagai daerah seperti Jakarta, Banten, Bekasi - Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Sumatera," ujarnya, Kamis (18/10/2018).
Said yang juga menjabat sebagai Presiden FSPMI itu meminta kepada kepala daerah untuk tidak menerapkan PP 78/2015 dalam menerapkan UMP. Dia juga mendorong kepala daerah untuk mengabaikan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan soal UMP 2019.
"Sebab acuan yang benar adalah menggunakan data survey Kebutuhan Hidup Layak sebagaimana yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003," kata Said.