Kecuk menjelaskan, turunnya angka kemiskinan karena upaya pemerintah dalam mengendalikan inflasi. Dalam empat tahun terakhir, kenaikan harga barang dan jasa secara umum ditekan pada kisaran 3 persen per tahun.
Hal ini, kata Kecuk, membuat upah riil buruh dan nilai tukar petani naik. Selain itu, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan juga meningkat, termasuk mereka yang masuk dalam kategori 40 persen lapisan terbawah.
Secara tren, angka kemiskinan sejak 1970 turun hingga ke level terendah sebelum krisis 1998/99. Pada 1993, jumlah penduduk miskin tercatat 25,9 juta atau 13,7 persen.
Namun, krisis ekonomi yang terjadi lima tahun kemudian membuat jumlah penduduk miskin pada 1999 melonjak menjadi 49,5 juta atau 24,2 persen. Pemulihan ekonomi yang terjadi membuat angka kemiskinan sejak saat itu turun hingga ke level terendah sepanjang sejarah pada 2018.
Kecuk mengatakan, penurunan angka kemiskinan karena kenaikan tingkat pengeluaran per kapita naik lebih tinggi daripada garis kemiskinan. Pada 2018, pengeluaran 40 persen lapisan terbawah naik 3,55 persen, lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan yang naik 2,36 persen.
Garis kemiskinan sebagai tolak ukur untuk menentukan angka kemiskinan terus meningkat setiap tahun. Pada 1998 misalnya, penduduk dikatakan miskin jika pengeluaran sebulan Rp72.780 ke bawah.
Sementara garis kemiskinan yang ditetapkan pada September 2018 dipatok Rp302.022 per bulan. Dengan kata lain, ada peningkatan standar garis kemiskinan lebih dari 300 persen dalam 20 tahun terakhir.