JAKARTA, iNews.id - Kasus stunting atau yang biasa disebut Tengkes masih menjadi perhatian penting. Sebab, jika dibiarkan, tengkes berakibat pada kualitas sumber daya manusia.
Oleh karena itu, pemerintah menargetkan penurunan angka prevalensi stunting menjadi 14% dari jumlah balita di tahun 2024. Pada 2022, berdasarkan hasil studi SSGI, prevalensi tengkes di Indonesia turun sebesar 2,8% menjadi 21,6%.
Dokter Anak Konsultan Neonatologi, Prof. Rinawati Rohsiswatmo menjelaskan, bayi dengan kelahiran prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masuk ke dalam bayi yang berisiko tinggi mengalami tengkes. Indonesia menempati peringkat kelima tertinggi angka kelahiran prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR).
Menurut dia, dari 100 bayi yang lahir, terdapat 10 bayi lahir secara prematur dan 7 bayi dengan kondisi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Bahkan, Berdasarkan penelitian di 137 negara berkembang, 32,5% kasus tengkes disebabkan oleh kelahiran prematur dan 20% kasus tengkes di Indonesia disebabkan oleh Bayi Berat Lahir Rendah. Bayi lahir prematur berisiko untuk mengalami developmental delay, gangguan kognitif, kesulitan belajar dan gangguan perilaku.
"Pada bayi prematur ada banyak masalah nutrisi seperti alergi dan intoleransi makanan, kebutuhan nutrisi lebih tinggi, lebih rentan penyakit, laju metabolisme protein yang tinggi, laju metabolik yang tinggi, organ yang imatur, dan gudang penyimpanan nutrisi kecil," kata Prof Rinawati, melalui keterangannya belum lama ini.
Dia menambahkan, jika bayi sudah mengalami tengkes maka perlu dilakukan tata laksana gizi di rumah sakit dengan pemberian PKMK (Pangan Olahan untuk Kondisi Medis Khusus) makanan khusus atau dengan pemberian nutrisi parenteral.