JAKARTA, iNews.id - Istilah Badai Sitokin pertama kali diungkap seorang peneliti bidang imunologi, James L Ferarra, lewat jurnal bertajuk Cytokine storm of graft-versus-host disease: a critical effector role for interleukin-1. Ferrara beserta 2 rekannya menerbitkan jurnal kesehatan tersebut pada Februari 1993.
Pelepasan sitokin yang berlebihan dan selanjutnya diistilahkan sebagai Badai Sitokin terus dibahas dalam berbagai diskusi selama bertahun-tahun. Sekitar 9 tahun setelahnya, istilah Badai Sitokin kembali muncul dalam diskusi kesehatan yang membahas mengenai radang pankreas.
Merangkuman berbagai sumber, badai sitokin ikut berperan menyebabkan kematian dalam merebaknya kasus SARS pada 2003 dan wabah flu burung H5N1.
Menurut jurnal kesehatan yang dirilis University of New England pada Desember 2020, badai sitokin sebelumnya disebut sebagai sebuah sindrom menyerupai influenza dan umum terjadi setelah adanya infeksi sistemik, seperti sepsis dan infeksi bakteri Yersinia peptis.
Infeksi tersebut mampu memicu magrofag alveolar untuk menghasilkan jumlah sitokin yang berlebihan. Bahkan hingga menyebabkan ‘badai’. Hal itu berujung pada respon imun berlebihan. Kejadian berlebihannya respon imum seseorang ini diyakini menjadi faktor utama banyaknya kematian yang terjadi saat pandemi influenza di tahun 1918 – 1919 silam.
Penyakit ini bisa diidap penderita Covid-19, dan organ yang paling parah terserang adalah paru-paru serta pembulu darah. Orang-orang yang terserang badai sitokin akan mudah mengalami sesak napas, demam, tubuh menggigil, sakit kepala, ruam pada kulit, batuk dan mudah lelah.