JAKARTA, iNews.id - Mengakhiri toxic relationship itu menakutkan, tapi bertahan bisa lebih menyakitkan. Kalimat ini bukan sekadar kutipan, tapi kenyataan yang dialami banyak orang dalam hubungan tidak sehat. Hubungan yang penuh manipulasi, kontrol, pelecehan verbal atau emosional, sering kali membuat seseorang bingung antara tetap bertahan atau pergi. Sayangnya, banyak yang memilih tetap tinggal, bukan karena cinta, tapi karena takut.
Ketakutan akan kesepian, ketidakpastian, dan rasa bersalah kerap membuat korban toxic relationship menunda keputusan untuk mengakhiri hubungan. Padahal, bertahan terlalu lama dalam relasi semacam ini bisa merusak harga diri, kesehatan mental, dan bahkan keselamatan fisik.
Artikel ini akan membahas mengapa keluar dari hubungan toksik memang menakutkan, namun tetap tinggal justru bisa membawa dampak yang lebih dalam.
Toxic relationship adalah hubungan yang secara konsisten merugikan satu atau kedua pihak, baik secara emosional, psikologis, maupun fisik. Ciri-ciri umumnya meliputi:
Menurut Miller et al. (2010) dalam jurnal Personality and Social Psychology Bulletin, hubungan yang penuh konflik kronis dan ketimpangan kekuasaan dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan penurunan self-esteem. Hal ini menunjukkan bahwa bertahan dalam toxic relationship dapat membawa konsekuensi serius terhadap kesehatan mental.
Banyak orang menyadari hubungan mereka tidak sehat, namun tetap tidak mampu keluar. Beberapa penyebab utamanya:
1. Takut Sendiri
Ketakutan akan kesepian sering membuat seseorang bertahan, meskipun ia sadar sedang disakiti. Kalimat seperti “daripada sendirian, lebih baik sama dia” jadi alasan umum.
2. Gaslighting dan Rasa Bersalah
Korban toxic relationship kerap dibuat merasa semua kesalahan ada pada dirinya. Hal ini menciptakan rasa bersalah yang mendalam dan ketakutan bahwa mereka tidak akan dicintai lagi oleh siapa pun.
3. Harapan Palsu
Banyak yang bertahan karena berharap pasangan akan berubah. Namun, perubahan dalam toxic relationship jarang terjadi tanpa kesadaran dan komitmen kuat dari kedua belah pihak—yang sering kali tidak ada.
4. Ketergantungan Emosional atau Finansial
Ada pula yang tidak bisa lepas karena tergantung secara finansial atau sudah terlalu melekat secara emosional. Ini menciptakan ilusi bahwa hubungan itu satu-satunya jalan untuk merasa “utuh.”
Semakin lama kamu berada dalam hubungan yang merusak, semakin besar dampaknya terhadap kesehatan mental dan fisikmu. Berikut beberapa akibat jika tetap bertahan:
Sebuah penelitian dari Dutton & Goodman (2005) dalam Journal of Interpersonal Violence menyatakan bahwa korban kekerasan dalam hubungan sering mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan, bahkan setelah hubungan berakhir.
Kalau kamu mulai meragukan apakah hubunganmu layak dipertahankan, coba perhatikan tanda-tanda berikut: