4.Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami istri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Sebagai tambahan, fatwa tersebut sebenarnya senada dengan apa yang telah dibahas pada bahtsul masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim terkait hukum bayi tabung.
Pada bahtsul masail 26-27 Agustus 1981 itu, status hukum bayi tabung diperinci (ditafsil):
1. Pertama, apabila sperma yang ditabung dan dimasukkan ke dalam Rahim wanita tersebut ternyata bukan sperma suami istri, maka hukumnya haram.
2. Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut suami istri, tetapi cara mengeluarkan sperma tidak dengan cara yang diperbolehkan syara’ (muhtaram) maka hukumnya juga haram.
3. Ketiga, bila sperma yang ditabung merupakan sperma suami istri dan cara mengeluarkanya muhtaram serta dimasukkan ke dalam Rahim istri yang sah. Maka hukumnya boleh.
Dasar hukum di atas adalah ditelaah dari beberapa kitab antara lain. Salah satunya dalam kitab Al-Jami’ ash-Shaghir, V/479 yang menyatakan:
ماَ مِنْ ذَنْبِ بَعْدَ الشَّرْ كِ أَ عْظَمُ عِنْدَ ا الله مِنْ نٌطْفَةٍ وَ ضَعَهَا رَ جُلٌ فِى رَ حِمٍ الَا يَحِلُ لَهُ (رواه أبي الد نيا عن الد نيا عن الهشيم بن ما لك الطا ئي)
Artinya: Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi Allah daripada mani seorang laki-laki yang ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal baginya,(HR. Ibn ad-Dunya dari al-Hasyim bin Malik ath-Tha’i).
Demikian adalah hukum bayi tabung dalam Islam, khususnya yang difatwakan oleh MUI dan hasil bahtsul masail NU Jawa Timur.