JAKARTA, iNews.id - Keutamaan menikah di Bulan Syawal selain mengikuti sunnah Rasulullah, juga menggenapkan agama. Lazim di masyarakat, orang memilih menikah di Bulan Syawal.
Ternyata, kebiasan masyarakat di Indonesia itu mengacu pada hadits sahih dari Sayyidatina Aisyah radhiyallahu'anha berkata :
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي
Artinya: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menikahiku pada bulan Syawwal dan berkumpul denganku pada bulan Syawwal, maka siapa di antara istri-istri beliau yang lebih beruntung dariku?” ( HR Muslim no. 2551, At-Tirmidzi no. 1013, An-Nasai no. 3184, Ahmad no. 23137 )
Imam An Nawawi menjelaskan hadits di atas bahwa “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal."
Dikutip dari bincangsyariah.com, dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua Id (bulan Syawal termasuk di antara Idulfitri dan Iduladha), mereka khawatir akan terjadi perceraian.
Mereka beranggapan bahwa unta betina mengangkat ekornya (syaalat bidzanabiha) pada bulan Syawal. Ini adalah tanda unta betina tidak mau dan enggan untuk menikah, sebagai tanda juga menolak unta jantan yang mendekat. Maka para wanita juga menolak untuk dinikahi dan para wali pun enggan menikahkan putri mereka.
Bulan Syawal dijadikan waktu disunahkannya menikah ditujukan untuk menghilangkan kepercayaan orang-orang Arab Jahiliyah yang menganggap bahwa pernikahan di bulan Syawal adalah sebuah kesialan dan akan berujung dengan perceraian. Sehingga para orangtua atau wali tidak ingin menikahi putri-putri mereka begitu juga para wanita tidak mau dinikahi pada bulan tersebut.