Masalahnya adalah, apakah seseorang bisa menjamin bahwa dirinya mendapatkan ampunan itu. Sementara jika ia tidak dapat ampunan, berarti ia celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini menyentuh rasa takut para sahabat dan orang-orang shalih. Mereka takut sekiranya menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan akan segera pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya kepada Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima.
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَا وَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Wahai Rabb kami… terimalah puasa kami, shalat kami, ruku’ kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Para sahabat dan orang-orang shalih bukan hanya berdoa di akhir Ramadhan. Bahkan, konon, rasa khauf membuat mereka berdoa selama enam bulan agar amal-amal di bulan Ramadhan mereka diterima Allah SWT. Lalu enam bulan setelahnya mereka berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Perbedaan tashawur (paradigma, persepsi) dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan generasi kita saat ini. Jika sebagian masyarakat, seperti dikemukakan di muka, asyik berbelanja menyambut Idul Fitri, para sahabat asyik beriktikaf di sepuluh hari terakhir. Maka bisa kita bayangkan bahwa Madinah di era Rasulullah di sepuluh hari terakhir Ramadhan layaknya seperti kota setengah mati. Sebab para lelaki beriktikaf di masjid-masjid. Bahkan begitu pula sebagian para wanitanya.
Perbedaan tashawur dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan gnerasi kita saat ini. Jika kita sibuk menyiapkan kue lebaran, para sahabat dan salafus shalih sibuk memenuhi makanan ruhaninya dengan mengencangkan ikat pinggang, bersungguh-sungguh beribadah sepanjang siang, terlebih lagi di waktu malam.
Perbedaan tashawur dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan gnerasi kita saat ini. Jika kita mengalokasikan banyak uang dan waktu untuk membeli pakaian baru, para sahabat dan salafus shalih menghabiskan waktu mereka dengan pakaian taqwa. Dengan pakaian taqwa itu mereka menghadap Allah di masjid-Nya, berduaan dan bermesraan dalam khusyu’nya shalat, tilawah, dzikir, dan munajat.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Kita mungkin tidak bisa bersedih dan menangis sehebat para sahabat, namun selayaknya kita pun takut sebab tak ada jaminan apakah amal kita selama 25 hari ini diterima, begitu pula tak ada jaminan apakah kita dipertemukan lg dengan Ramadhan tahun berikutnya. Lalu kita pun kemudian memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta berdoa lebih sungguh-sungguh kepada-Nya.