JAKARTA, iNews.id – Kisah hidup Reyhan Ahmad Maulana, hafiz Indonesia yang mengukir prestasi di ajang Musabaqah Hifdzil Qur’an (MHQ) Disabilitas Netra Internasional penuh inspirasi.
Pada ajang MHQ yang digelar di Tangerang, Banten, 3–7 Desember 2025, nama Reyhan Ahmad Maulana (18) berdiri tegak sebagai representasi Indonesia.
Santri asal Tangerang dari Pondok Al-Ukhuwah BSD ini bukan hanya seorang hafiz 30 juz biasa, melainkan simbol keteguhan hati yang menolak menyerah pada keterbatasan fisik.
Masa kecil Reyhan diwarnai kecemasan. Ia mengingat kembali bagaimana tim dokter memvonis bahwa kondisinya cukup berat dan kemungkinan besar ia akan menghadapi banyak keterbatasan saat dewasa. Bahkan, sempat ada saran penanganan ekstrem dari pihak medis.
“Dulu dokter bilang kondisi saya cukup berat. Pernah juga ada saran penanganan ekstrem, tapi ayah dan ibu saya memilih untuk tidak mengambilnya,” ujar Reyhan mengenang keputusan krusial orang tuanya dilansir dari laman Kementerian Agama, Minggu (7/12/2025).
Pilihan orang tuanya untuk terus mendampingi dan meyakini potensi Reyhan menjadi titik balik yang mengarahkan hidupnya menuju Al-Qur’an.
Minat Reyhan terhadap Al-Qur’an mulai tumbuh saat ia berusia 10 tahun, terinspirasi dari lantunan murotal Syaikh Misyari Rasyid Al-Afasi dan Syaikh Ahmad An-Nu’ais yang sering ia dengar.
Sebelum mondok, ia adalah muazin di Masjid Al-Kho. Melihat ketekunan para santri menghafal setiap hari membuatnya tergerak. Dengan kedisiplinan luar biasa, Reyhan mampu menuntaskan hafalan 30 juz dalam waktu dua tahun lebih.
Sebagai tunanetra yang tidak dapat membaca mushaf Braille, Reyhan memiliki metode hafalan yang unik: ia sepenuhnya mengandalkan pendengaran. “Saya menghafal dengan mendengar bacaan ustaz atau bacaan teman,” ujar Reyhan.