Kesungguhan Kiai Hasyim menuntut ilmu membuahkan hasil manis. Kiai Hasyim ditunjuk sebagais alah satu guru di masjidil Haram bersama para ulama Indonesia lain di antaranya Syeikh Nawawi al bantani dan Syaikh Khatib Al Minangkabawi.
Ulama asal Indonesia pada masa lalu bukan hanya murid ulama Timur Tengah dan dunia Islam lainnya tetapi mereka juga sebagai guru karena kedalaman ilmu agamanya.
Setelah tujuh tahun menetap di Makkah, Kiai Hasyim kemudian kembali ke kampung halaman pada 1899. Pada mulanya, Kiai Hasyim tinggal di rumah mertunya di Kediri, Lalu, dia membantu kakeknya, Kiai Usman mengajar di pesantren Gedang hingga kemudian membantu ayahnya, Kiai Asy'ari mengajar di Pesantren Keras, Jombang dan kemudian mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.
Pada awalnya, mendirikan Pesantren Tebuireng bukan perkara mudah karena saat itu orang-orang di kawasan Jombang terkenal dengan perilaku buruk. Namun, hal itu tidak menyurutkan tekat Kiai Hasyim.
Awalnya, pesantren yang dibangun hanya beberapa bilik atau kamar dari taratak atau bambu. Santri pada masa itu hanya berjumlah delapan orang. Lambat laun, kealiman dan kezuhudan Kiai Hasyim membuat masyarakat Jombang menerima dakwahnya hingga membuat pesantrennya semakin berkembang.
Komitmen Keumatan
Tak hanya konsen pada pendidikan agama, Kiai Hasyim juga peduli dengan persoalan keumatan. Puncak komitmennya dalam menyelamatkan umat dari kubangan kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan yakni dengan mendirikan organisasi sosial-keagamaan yang diberi nama Nahdtalul Ulama.
Organisasi NU ini tidak bisa dipisahkan dari kiprah Kiai Hasyim bersama Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan beberapa ulama lainnya. Organisasi NU ini didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926.