“Walaupun dengan cara apapun saya tetap gunakan. Nah dari situ banyak kawan-kawan yang berbicara sebenarnya ini harusnya bisa didanai oleh pemerintah kalau seandainya kamu itu bisa masuk di politik, di pemerintahan,” ujar dia.
Tri awalnya mengaku tidak tertarik dengan politik. Namun, dengan segala keresahan yang ada di dunia kesenian, dia lantas mulai tergerak untuk terjun ke dunia politik demi menjalankan misinya dalam pelestarian kesenian Indonesia.
“Awalnya saya tidak mau sama sekali. Akhirnya saya terus memutuskan saya akan terjun di politik praktis tapi dalam rangka tetap untuk menggiatkan kesenian,” kata dia.
Ketertarikan Tri ke dunia politik bersama Partai Perindo juga berangkat dari fenomena para penggiat seni di Indonesia yang masih kerap bergantung dengan dana alokasi yang disiapkan Pemerintah daerah.
Padahal, selama ini, menurutnya masih banyak penggiat seni yang tidak bergantung dengan dana tersebut dan rela mengeluarkan anggaran sendiri demi bisa melestarikan kesenian.
Sebab itu, Tri bertekad, melalui politik, dia ingin agar untuk melestarikan kesenian di Indonesia. Agar, para pegiat seni tidak terhambat karena masalah anggaran.
“Sebenarnya dari masyarakat masih cukup antusias. Cuma karena di Jogja itu udah terlanjur ada yang namanya dana istimewa, mereka semacam kayak ketergantungan dengan yang namanya dana istimewa,” kata dia.
“Jadi akhirnya kalau tanpa gelondoran dari dana istimewa itu mereka seolah-olah kayak tidak mau pentas. Tapi di salah satu sisi banyak grup-grup kecil yang orang-orang tua itu mereka tetap pentas dengan biaya sendiri. Nah itu yang membuat saya sebenarnya miris dan kenapa saya bertujuan untuk terjun di dunia politik, saya akan membuat kesenian itu menjadi hal yang murah dan gampang,” ujar dia.