Srimulat tercatat pernah tergabung dalam Ketoprak Candra Ndedari pimpinan Ki Retsotruno, Ketoprak Mardi Utomo di Magelang, dan Rido Carito. Dari situlah dia terkenal di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kalangan atas, menengah, hingga ke bawah. Bahkan, sebagai seorang ningrat, Srimulat tak segan menari bersama penari-penari lokal di sejumlah daerah hingga tampil di perkawinan hingga pasar malam.
Menjadi pemain sandiwara panggung dan penyanyi dari kalangan ningrat, Srimulat terkenal dengan sikap idealis, berpendirian keras, dan mau menghibur serta membantu rakyat biasa.
Salah satu ceritanya yakni sT dia mati-matian membela seorang pesinden bernama Nyai Mas Sulandjari, yang berhasil memenangkan lomba kontes batik di Pasar Malam Amal Yogyakarta pada 1938. Kemenangan Sulandjari, waktu itu ditentang oleh para bangsawan Yogyakarta dan Surakarta, karena dia berhasil mengalahkan putri-putri ningrat.
Begitulah Srimulat, berawal dari panggung ke panggung, menghibur masyarakat secara langsung, sampai sempat masuk ke dapur rekaman dan bermain dalam film-film Tanah Air. Di antaranya saja seperti Sapu Tangan (1949), Bintang Surabaja (1951), Putri Sala (1953), Sebatang Kara (1954) dan Radja Karet dari Singapura (1956).
Kecintaannya akan dunia kesenian sampai akhir hayat. Sampai pada tahun 1968, Srimulat meninggal dunia di usia 60 tahun. Dia meninggalkan seorang suami, Kho Tjien Tiong atau Teguh Slamet Rahardjo yang dinikahinya tahun 1950.