Berikutnya, kasus hepatitis C di Indonesia cenderung lebih sedikit dibandingkan hepatitis B, yakni 1,01 persen. Meski kecil, dua penyakit menular tersebut berpotensi menjadi kronis dan menyebabkan sirosis, kanker hati, hingga kematian.
Hal itu diungkapkan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dr Irsan Hasan, SpPD-KGEH, yang menerangkan bahwa kedua penyakit itu rata-rata tidak menimbulkan gejala.
"Sembilan dari 10 pengidap tidak sadar memiliki hepatitis B, tetapi satu dari empat pengidap akan meninggal dunia karena kanker atau gagal hati,” ujarnya.
Adapun jika hepatitis B bergejala di antaranya mata kuning, muntah darah, penurunan kesadaran, asites, hingga hepatoma atau kanker hati. “Gejala muncul biasanya kalau sudah sirosis atau sudah kanker hati, bahkan itu pun butuh waktu dan mucul setelah sudah berat,” kata dia.
Oleh sebab itu, hal yang penting dalam menangani hepatitis B dan C adalah mendeteksi dini orang-orang yang tidak menyadari bahwa dia mempunyai virus itu dalam tubuhnya. Jika hepatitis B mempunyai vaksin untuk pencegahan, hepatitis C tidak ada vaksin tetapi dapat sembuh.
“Untuk hepatitis C ada Direct Acting Antivirals (DAA) sebagai terapi yang menyebabkan 90 persen lebih pasien dapat sembuh. Tetapi sekali lagi kebanyakan kasus, pengidap hepatitis C tidak sadar, sehingga yang diobati lebih sedikit,” ucap dia.
“Sehingga yang harus dilakukan adalah temukan jutaan orang yang sakit (mengidap) hepatitis B dan hambat progresi penyakitnya. Kemudian untuk hepatitis C, temukan pengidapnya dan sembuhkan,” ucapnya.