JAKARTA, iNews.id — Budidaya udang, khususnya udang vanamei (Litopenaeus vannamei), menjadi tulang punggung sektor perikanan Indonesia. Pada 2024, ekspor udang nasional mencapai USD 1,68 miliar dengan volume 214,58 ribu ton, menempatkan Indonesia di posisi kelima eksportir udang terbesar dunia dengan pangsa pasar 6 persen. Amerika Serikat menjadi tujuan utama ekspor dengan kontribusi 63,7 persen, disusul Jepang.
Namun, di balik keberhasilan tersebut, mengintai ancaman serius: penggunaan antibiotik yang tidak sesuai ketentuan dalam budidaya. Praktik ini berpotensi menimbulkan resistensi antimikroba (AMR), ketika bakteri menjadi kebal terhadap obat yang seharusnya membunuhnya. Dampaknya tak hanya mengancam kesehatan udang dan ekosistem tambak, tetapi juga keamanan pangan manusia.
Antibiotik seperti oksitetrasiklin, enrofloksasin, dan eritromisin lazim digunakan untuk melawan infeksi bakteri Vibriopada udang. Meski efektif jangka pendek, residunya ditemukan di lingkungan tambak, terutama di sedimen dan perairan sekitar, menunjukkan bahwa bahan aktif ini tidak sepenuhnya terurai.
Penelitian berbagai lembaga riset menunjukkan bahwa isolat Vibrio dan Salmonella dari tambak udang di Indonesia mulai resisten terhadap antibiotik β-laktam dan tetrasiklin. Fenomena ini memperumit pengendalian penyakit dan berpotensi menular ke manusia melalui rantai makanan. WHO bahkan menetapkan resistensi antimikroba sebagai 10 ancaman kesehatan global terbesar.
Dampaknya meluas. Pada manusia, infeksi superbug menyebabkan masa sakit lebih lama, komplikasi berat, hingga peningkatan angka kematian. Di sisi lain, sektor peternakan dan perikanan menghadapi kerugian akibat penyakit yang sulit diobati dan risiko keamanan pangan akibat bakteri resisten yang berpindah dari hewan ke manusia.