Salah satu terdakwa, Mohamad Shobirin Sabri, membenarkan kekerasan tersebut sebagai norma budaya di UPNM. Tuduhan pencurian di kalangan taruna sering kali berujung pada interogasi fisik.
Setelah menyiksa Zulfarhan, para pelaku kemudian mengurungnya di ruang terkunci selama beberapa hari dan mengawasi secara ketat untuk mencegah pihak universitas mengetahui kondisinya. Para pelaku memilih untuk mengobati sendiri luka-luka Zulfarhan karena takut dikeluarkan atau diberi hukuman fisik.
Seorang saksi JPU yang merasa kasihan pada Zulfarhan menulis surat kaleng meminta agar dia diselamatkan. Surat itu diselipkan di depan Rumah Sakit Angkatan Tentera (Tuanku Mizan Military) pada 25 Mei 2017.
Sayangnya, surat tersebut tidak ditindaklanjuti. Namun, surat kaleng itu menjadi viral hingga membuat terdakwa memindahkan Zulfarhan ke ruangan lain agar tidak diketahui keberadaannya.
Pada tanggal 24 Mei, beberapa terdakwa membawa Zulfarhan ke Klinik As-Salam di Bangi. Salah satu dokternya, Azfar Hussin, setelah melihat luka Zulfarhan menulis surat rujukan agar dia dirawat di Rumah Sakit Serdang.
Para pelaku hanya meminta agar luka Zulfarhan dibalut. Mereka sempat mengatakan terjadi ledakan saat berlatih di Port Dickson.
Zulfarhan kembali dibawa ke dokter Azfar pada tanggal 31 Mei. Dokter tersebut melihat ada cairan yang keluar dari luka di perutnya.
Dokter Azfar mengatakan, dia melihat Zulfarhan harus meminta bantuan temannya untuk bergerak. Zulfarhan juga mengalami dehidrasi dan muntah beberapa kali.
Tragisnya, Zulfarhan tidak pernah dibawa ke rumah sakit meski sudah ada surat rujukan kedua dari dokter Azfar.
Pada tanggal 1 Juni 2017, Zulfarhan yang berada di sebuah unit di Apartemen De Centrum terlihat kaku setelah makan malam. Dia lalu dibawa ke rumah sakit dan dinyatakan meninggal pada pukul 21.25 waktu setempat.