Meski demikian, namanya tetap populer di dalam negeri. Rakyat Myanmar tampaknya tak mempermasalahkan sorotan dunia atas kekejaman terhadap kelompok minoritas Rohingya.
Pada Januari, Suu Kyi mengakui bahwa kejahatan perang mungkin dilakukan terhadap Rohingya, namun membantah adanya genosida. Peraih Nobel Perdamaian itu menuduh para pengungsi Rohingya melebih-lebihkan pelanggaran terhadap mereka.
Pada akhir 2019, Suu Kyi mewakili sendiri pemerintah Myanmar dalam sidang gugatan yang diajukan Gambia ke Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda. Gambia, mewakili negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), menuduh Myanmar melanggar Konvensi 1948 dengan melakukan genosida yang berkelanjutan terhadap etnis Rohingya.
Dalam putusan pada Januari 2020, Pengadilan Internasional memerintahkan Myanmar mengambil semua langkah untuk mencegah genosida terhadap muslim Rohingya.
"Myanmar harus mengambil semua langkah dalam kekuasaannya untuk mencegah semua tindakan yang dijelaskan oleh konvensi," kata Hakim Ketua, Abdulqawi Ahmed Yusuf.
Pengadilan memerintahkan Myanmar melaporkan kembali perkembangannya dalam waktu 4 bulan, dan kemudian setiap 6 bulan.