"Kami mengirim tim karena ada pertanyaan mengenai ketinggian Everest setelah gempa," kata koordinator ekspedisi dari Departemen Survei, Susheel Dangol, dikutip dari AFP, Senin (8/4/2019).
Para surveyor tersebut menghabiskan waktu 2 tahun untuk menyempurnakan metodologi pengukuran puncak serta mengumpulkan referensi sebanyak mungkin yang akan dijadikan bahan pertimbangan mereka. Peralatan canggih juga mereka bawa untuk mengumpulkan data.
Selain itu, mereka juga melakukan pelatihan tinggal di kondisi ekstrem, situasi yang mungkin mereka hadapi di puncak gunung tertinggi di dunia itu.
"Tidak akan mudah untuk bekerja di daerah itu, tetapi kami yakin misi ini akan berhasil," kata pemimpin ekspedisi dan kepala surveyor, Khim Lal Gautam, yang juga pernah mencapai puncak Everest pada 2011.
Pada Mei 1999, sebuah tim Amerika Serikat merevisi ketinggian Everest 2 meter lebih tinggi setelah mengukur menggunakan teknologi GPS. Angka itu saat ini digunakan oleh National Geographic Society AS, namun tak diterima secara luas.
Nepal juga pernah konflik dengan China gara-gara perbedaan prinsip pengukuran ketinggian Everest. China beranggapan puncak Everest lebih pendek 4 meter dari angka resmi. Pasalnya ketinggian gunung hanya dihitung dari bebatuannya, tidak termasuk salju atau es yang menyelimuti.
Penghitungan Nepal didasarkan pada garis patahan utama antara dua lempeng tektonik, satu lempeng India yang mendorong lempeng lainnya yang kemudian mengangkat Eropa dan Asia, sebuah proses yang kemudian menciptakan pegunungan Himalaya.