Analogi Yugoslavia: Dari Disintegrasi ke Bencana Kemanusiaan
Mari kita lihat ke belakang: ingatkah kita pada Yugoslavia? Negara multi-etnis yang dipaksa bertekuk lutut oleh gelombang intervensi dan tekanan asing. Pecahnya Yugoslavia bukanlah buah dari kehendak rakyat, tetapi hasil dari skema geopolitik dan intervensi yang dibalut narasi HAM.
Iran, sebagai negara multi-etnis (Kurdi, Azeri, Arab, Baluchi), berisiko mengalami hal yang sama jika jatuh akibat agresi asing.
Kekacauan pasca-rezim dapat memicu perang saudara, disintegrasi, dan bencana kemanusiaan berskala besar. Namun, Barat tampaknya tidak belajar dari Irak dan Libya. Irak dijatuhkan atas nama senjata pemusnah massal yang tak pernah ditemukan.
Libya dihancurkan dengan dalih demokratisasi, dan hasilnya adalah negara gagal dengan perdagangan budak di abad ke-21.
Bila AS melanjutkan pola ini terhadap Iran, dunia akan menyaksikan sekali lagi bahwa kekuatan dominan di dunia justru menjadi fabrikator kehancuran, bukan penjaga perdamaian.
Geopolitik atau Penjajahan Gaya Baru?
Iran bukan hanya simbol pertahanan Palestina, tetapi juga penghubung strategis antara Asia Tengah, Timur Tengah, dan jalur energi global. Dalam skema geopolitik, kekuatan Iran mampu menahan ekspansi AS dan NATO ke jantung Eurasia.
Jika Iran dikendalikan Barat, Rusia kehilangan “tembok selatannya” dan China kehilangan akses darat strategis ke Timur Tengah. Inilah mengapa perang ini tidak bisa dibaca secara sempit sebagai konflik Israel-Iran semata. Ini adalah perang untuk menentukan arsitektur dunia pasca-hegemonik.
Kita berada pada titik balik sejarah di mana dunia menghadapi dua pilihan: melanjutkan dunia multipolar dengan kekuatan yang seimbang, atau kembali ke dunia unipolar yang didominasi satu negara dan satu ideologi: neoliberalisme Barat.
Dan serangan AS terhadap Iran akan menjadi sinyal bahwa dunia telah menyerah pada pilihan kedua: dunia unipolar yang brutal.