Seperti diketahui pada Jumat lalu Biden meneken Inpres yang mengalokasikan 3,5 miliar dolar AS dana aset Afghanistan sebagai bantuan kemanusiaan yang akan diserahkan melalui badan yang dikelola PBB. Dana itu akan diberikan sebagai bantuan bagi warga Afghanistan. Sisa dana 3,5 miliar dolar lainnya tetap ditahan di AS dan akan digunakan untuk membiaya proses pengadilan terkait tuntutan para korban serangan 9/11 serta sebagai kompensasi.
Perekonomian Afghanistan terpuruk setelah Taliban mengambil alih pemerintahan pada pertengahan Agustus 2021, menyusul hengkangnya pasukan AS dan sekutu setelah berperang selama 20 tahun.
Torek Farhadi, seorang penasihat keuangan untuk pemerintah Afghanistan yang lama mempertanyakan keputusan tersebut. Dia juga mempertanyakan mengapa dana 3,5 miliar dolar yang akan dicairkan untuk bantuan kemanusiaan diberikan melalui badan PBB.
Dia curiga dana tersebut tak ditujukan sebagai bantuan kemanusiaan namun untuk membantu mengamankan mata uang, kebijakan moneter, serta mengelola neraca pembayaran negara.
Farhadi juga mempertanyakan legalitas Inpres yang dikeluarkan Biden.
"Cadangan dana ini milik rakyat Afghanistan, bukan Taliban. Keputusan Biden ini sepihak dan tidak sesuai dengan hukum internasional. Tidak ada negara lain di Bumi yang membuat penyitaan cadangan negara lain seperti ini," kata Farhadi, dikutip dari Associated Press, Minggu (13/2/2022).
Setelah Biden meneken Inpres media sosial ramai dengan tanda pagar #USA_stole_money_from_afghan yang digaungkan kalangan warga Afghanistan di AS. Cuitan berulang kali juga mengungkpkan pelaku serangan 9/11 adalah warga negara Arab Saudi, bukan Afghanistan.
Secara keseluruhan, Afghanistan memiliki aset sekitar 9 miliar dolar AS di luar negeri, termasuk 7 miliar yang dibekukan di AS. Sisanya, sebagian besar berada di Jerman, Uni Emirat Arab dan Swiss.