"Sekali lagi menghapuskan veto saya rasa bukan suatu posisi yang realistis, karena tidak mungkin negara P5 meratifikasi adanya perubahan (Piagam PBB) untuk melucuti veto-nya sendiri," lanjutnya.
Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Dian Triansyah Djani menjelaskan bahwa isu ini juga menjadi perhatian bagi Prancis dan Meksiko yang telah mengajukan inisiatif agar hak veto tidak digunakan untuk isu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun, pembahasan mengenai hak veto sebagai bagian dari reformasi DK PBB kini terhambat akibat pandemi Covid-19 yang mempersulit pertemuan tatap muka di antara anggota DK PBB.
"Jadi perlu ditunda lagi pembahasannya," kata Dubes Djani.
Pendapat senada disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, yang menyebut bahwa penghapusan veto oleh negara-negara P5 jelas sulit dan tidak akan terjadi dalam waktu singkat.
Namun, wacana penghapusan hak veto diharapkan dapat direalisasikan oleh generasi muda di lima negara tersebut dengan dilandasi pemikiran bahwa penggunaan hak veto di dalam DK PBB sebetulnya tidak adil.
"Mereka menurut saya akan menjadi prime mover untuk reformasi PBB, bukan kita-kita ini yang di luar negara P5," kata Hikamahanto.
Selain isu hak veto, reformasi DK PBB juga mencakup empat isu lain yakni kategori keanggotaan DK PBB, jumlah perwakilan dari setiap kawasan, jumlah anggota DK PBB, serta metode kerja DK PBB dengan Sidang Majelis Umum PBB.