Bashir mengira tujuan mereka adalah Jakarta, sebagaimana diberitahukan oleh perwakilan Al Majd Eropa yang berbasis di Indonesia. Namun kemudian mereka diberitahu Otoritas Palestina menghentikan izin perjalanan ke Jakarta. Oleh karena itu penyelenggaran diam-diam mengubah tujuan mereka.
“Mereka mengubah tujuan ke Afrika Selatan dan mereka tidak memberi tahu kami,” kata Bashir.
Setelah 4,5 jam perjalanan menuju Bandara Ramon, para pengungsi Gaza naik pesawat menuju Nairobi, Kenya.
Di sana mereka transit dengan tiket yang baru, kemudian melanjutkan penerbangan ke Afrika Selatan.
“Kami memasuki Afrika Selatan tanpa masalah,” katanya.
Bashir mengatakan kelompoknya menerima detail hotel melalui WhatsApp dan menginap selama sepekan sebelum akhirnya dibantu oleh organisasi amal Gift of the Givers.
“Mereka membantu kami dengan semua yang kami butuhkan,” ujarnya.
Putrinya menyusulnya dengan penerbangan berikutnya dengan biaya 2.000 dolar AS, namun perjalanannya menghadapi situasi yang berbeda.
“Saat pesawat mendarat, polisi Afrika Selatan langsung naik ke pesawat. Mereka menginterogasi putri saya dan semua penumpang lain selama 15 jam dan ingin memulangkan mereka ke Kenya,” tuturnya.
Pihak berwenang Afrika Selatan menduga penerbangan itu merupakan bagian dari skema untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa memerintahkan penyelidikan terhadap pihak yang bertanggung jawab atas penerbangan carteran tersebut.
Namun, Afrika Selatan memberikan pembebasan visa 90 hari kepada 153 warga Palestina yang berada di dalam pesawat tersebut.
Situs web Al Majd Eropa mengklaim bahwa perusahaan tersebut didirikan di Jerman pada tahun 2010 dan berkantor di Yerusalem Timur. Namun, investigasi yang dilakukan oleh harian Israel, Haaretz, menemukan bahwa organisasi tersebut sebenarnya terdaftar di Estonia dan beroperasi melalui perusahaan konsultan palsu.
Situs web tersebut sendiri tidak memiliki alamat atau nomor telepon, hanya menyediakan lokasi yakni di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur.