Padahal, pada akhir Juni, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pemimpin Korut Kim Jong Un bertemu secara mendadak di Zona Demiliteriasasi wilayah perbatasan yang membagi Korsel dan Korut. Kedua pihak sepakat melanjutkan pembicaraan denuklirisasi di tingkat kerja.
Mengomentari reaksi dunia atas uji coba rudal pada pekan lalu, Korut menegaskan peluncuran itu sebagai peringatan serius terhadap Korsel yang akan melanjutkan latihan perang bersama AS di semenanjung. Latihan akan dimulai pada pekan depan.
Ironisnya, Presiden Donald Trump menganggap uji coba itu sebagai hal biasa dan tak mempermasalahkannya. Menurut dia, peringatan yang disampaikan Kim ditujukan kepada Korsel dan tidak mengancam keamanan negaranya. Saat ini ada 30.000 pasukan AS berada di Korsel untuk menjaga negara itu dari potensi serangan Korut sejak perang pada 1950-an.
"Dia (Kim) tidak mengirim peringatan kepada AS. Mereka punya perselisihan sendiri, kedua negara itu punya masalah sendiri," cuit Trump, saat itu.
Media The Korea Times dalam editorialnya mengecam pernyataan Trump dengan menyebutnya sebagai "kebodohan yang disengaja".
"(Trump) Memberi kesan bahwa dia tidak keberatan dengan peluncuran rudal selama itu jarak pendek, dan tidak mengancam AS. Cara berpikir seperti itu membuat frustrasi dan berbahaya. Yang terpenting, dia memberi sinyal yang salah kepada Korut bahwa AS tidak akan ikut campur selama (rudal) tidak menargetkan wilayah AS. Bagaimana dengan sekutu AS di Asia?" demikian sekelumit isi editorial.