Bermula pada Oktober 2016, militer Myanmar dan pejabat lokal memulai aksi mereka dengan menyita senjata tajam milik warga Rohingya yang kemungkinan digunakan untuk membela diri. Mereka juga menghancurkan pagar rumah-rumah warga sehingga militer akan lebih mudah menyerang.
Bentuk lain adalah melatih etnis Rakhine Budha untuk membantu penyerangan serta menutup akses bantuan internasional bagi warga Rohingya yang miskin.
Lebih dari itu, Myanmar mengirim banyak tentara ke Rakhine utara, di mana sebagian besar warga Rohingya yang tak punya status kewarganegaraan tinggal.
Fortify Rights juga mengungkap, setidaknya 27 batalion pasukan Myanmar atau sekitar 11.000 personel, dan setidaknya tiga batalion polisi tempur atau sekitar 900 personel, berpartisipasi dalam pembantaian yang dimulai pada akhir Agustus 2017 dan berlanjut selama berminggu-minggu sesudahnya.
Disebutkan pula, militer Myanmar selalu menggunakan alasan penyerangan pos-pos keamanan oleh organisasi Arakan Rohinyga Salvation Army sebagai alasan untuk membantai warga Rohingya.