Memahami Konsep National Interest dalam Agresi Militer Rusia di Ukraina

iNews.id
Ahmad Islamy Jamil. (Foto: Istimewa)

Dalam beberapa kesempatan, Rusia dan beberapa negara pendukungnya menggunakan dalih agresi militer di Ukraina sebagai bentuk upaya Moskow membela national interest alias kepentingan nasionalnya. Ini sejalan dengan perspektif state-centered atau teori statis, di mana negara dipandang sebagai pusat kekuasaan. Negara adalah kekuatan yang memiliki kemauan sendiri. Karenanya, ketika terjadi perang atau pengerahan militer ke negara lain, si negara agresor menganggap langkah itu demi melindungi kepentingan nasionalnya. 

Pertanyaannya, national interest apa sesungguhnya yang sedang dikejar Rusia dalam krisis Ukraina? Setidaknya ada dua aspek yang dapat dipakai untuk menganalisis hal ini, yaitu aspek keamanan nasional dan aspek konservatisme budaya. Mengenai aspek yang pertama, beberapa analis militer melihat perang yang sedang berlangsung di Ukraina sejatinya bukan antara Moskow dan Kiev, melainkan antara Rusia dan Barat—yang dalam hal ini diwakili oleh NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Menurut pandangan ini, Ukraina hanya menjadi arena pertempuran dua kekuatan besar itu.

Asumsi tersebut juga diamini oleh Putin dan para petinggi Rusia. Jauh sebelum agresi dimulai, Moskow sudah berulang kali mengingatkan NATO untuk tidak memperluas pengaruhnya di Ukraina. Namun, peringatan Rusia tersebut tidak pernah digubris aliansi militer itu. Selama ini, Ukraina telah menjadi semacam buffer zone atau wilayah penyangga antara Rusia dan NATO. Karenanya, Putin menilai kehadiran NATO di wilayah itu dapat mengancam kedaulatan Rusia. Apalagi jika ditelusuri kembali sejarahnya, tujuan awal didirikannya aliansi itu memang untuk melawan Uni Soviet. Sementara, representasi dari Uni Soviet hari ini adalah Rusia. 

Sebelum pembubaran Uni Soviet pada 26 November 1991, Pakta Warsawa sebagai aliansi pertahanan yang membentuk Blok Timur sudah lebih dulu dibubarkan. Peristiwa itu pun dianggap sebagai tanda berakhirnya era Perang Dingin, di samping runtuhnya Tembok Berlin. Sayangnya, pembubaran Pakta Warsawa pada waktu itu tidak diikuti dengan pembubaran NATO di pihak Barat. Tak hanya mempertahankan eksistensinya, aliansi militer pimpinan Amerika Serikat itu bahkan terus melakukan ekspansi di Eropa Timur, semakin mendekati Rusia. Sifat NATO yang tadinya defensif pun berubah menjadi lebih ofensif. AS dan sekutu Baratnya juga semakin memperlihatkan kecenderungan mereka untuk membangun tatanan dunia yang unipolar.

Berikutnya, terkait aspek yang kedua, yaitu konservatisme budaya, Moskow menganggap meluasnya pengaruh ideologi dan cara hidup Barat di Ukraina dapat mengancam eksistensi Rusia sebagai salah satu entitas budaya yang dominan di Eropa Timur. Pandangan tersebut dikonfirmasi lewat berbagai produk legislasi dan undang-undang yang digulirkan Duma Negara atau DPR Rusia, akhir-akhir ini. Sebut saja RUU Perlindungan Bahasa Rusia yang diumumkan pada Oktober lalu. Sesuai namanya, RUU itu dirancang untuk melindungi Bahasa Rusia dari serbuan kosa kata asing. Selain itu, ada juga UU Antipropaganda LGBT yang memberikan hukuman berat kepada para pelaku LGBT dan orang-orang yang mengampanyekan perilaku penyimpangan seksual itu. Bagi Putin, LGBT menjadi ancaman sendiri bagi kelangsungan hidup bangsa Rusia. Bahkan, dalam sebuah pidato pada akhir September lalu, dia dengan lantang menyatakan bahwa jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan tidak dapat diterima di Rusia.

Dalam konteks ini, Rusia kembali menunjukkan sikap yang konfrontatif terhadap Barat—yang dengan nilai-nilai liberalnya tidak sekadar mengakui, tetapi bahkan mendukung LGBT. Di balik sikapnya ini, Moskow sebenarnya punya argumen rasional sebagai landasan kebijakan untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Seperti diketahui, populasi laki-laki di Rusia saat ini lebih sedikit dibandingkan dengan perempuannya. Berdasarkan data PBB pada 2022, rasio penduduk laki-laki dan perempuan di negara itu adalah 86:100. Sementara natalitas atau tingkat kelahiran di negara itu sebesar 11,6 per 1.000 penduduk, lebih rendah dari mortalitas atau tingkat kematiannya yang 13,1 per 1.000 penduduk. Kekurangan pria di Rusia antara lain disebabkan banyaknya tentara mereka yang gugur selama Perang Dunia II.

Editor : Ahmad Islamy Jamil
Artikel Terkait
Internasional
2 jam lalu

Putin Ungkap Kelebihan Drone Torpedo Nuklir Poseidon, Melaju Lebih Cepat dari Kapal Perang

Internasional
1 hari lalu

Rumania Borong 18 Jet Tempur F-16 Belanda Cuma Seharga Rp19.200, Ternyata Bukan untuk Perang

Internasional
1 hari lalu

Wow, Rumania Beli 18 Unit Jet Tempur F-16 dari Belanda Cuma Seharga Rp19.000

Internasional
2 hari lalu

Trump: Amerika Bisa Ledakkan Dunia 150 Kali dengan Nuklir, Singgung Rusia dan China

Internasional
2 hari lalu

Trump Tuduh Rusia dan China Diam-Diam Uji Coba Senjata Nuklir

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal