Memahami Konsep National Interest dalam Agresi Militer Rusia di Ukraina

iNews.id
Ahmad Islamy Jamil. (Foto: Istimewa)

Berkaca dari data di atas, dapat diduga kepentingan apa yang hendak dicapai Rusia di balik kebijakan anti-LGBT-nya, yaitu demi mempertahankan populasi, terutama kaum laki-lakinya yang sewaktu-waktu harus siap dikerahkan untuk bertempur—seperti dekret Putin soal mobilisasi parsial pada 21 September lalu. Dengan menangkal perilaku LGBT, negara tidak saja mengambil peran sentral dalam melestarikan identitas dan nilai-nilai ortodoks yang dianut Rusia, melainkan juga mendorong warganya untuk melanjutkan keturunan lewat institusi pernikahan yang konvensional. Dengan kata lain, konservatisme budaya yang dijalankan Moskow secara paralael dengan agresi militernya di Ukraina itu juga untuk mengimbangi potensi penurunan lebih lanjut populasi laki-laki Rusia akibat bergugurannya tentara mereka di medan perang. Hal ini juga menyiratkan bahwa perang Rusia-Ukraina tidak akan selesai dalam waktu singkat, karena Moskow telah menyiapkan perangkat regulasi untuk mendukung agresinya hingga puluhan tahun mendatang.

Resolusi konflik dan peran pihak ketiga

Dalam konflik bereskalasi, peran pihak ketiga sering kali tidak terelakkan. Apalagi dalam konteks politik global, biasanya ada saja intervensi dari negara-negara yang lebih kuat. Namun, alih-alih meredakan ketegangan, kehadiran mereka kadang kala justru semakin memperparah konflik.

Perang Rusia-Ukraina setidaknya juga menunjukkan gejala tersebut. AS dan sekutunya terus mengirimkan bantuan persenjataan ke Ukraina, dengan harapan langkah semacam itu dapat mengurangi tindakan agresif Rusia. Di satu sisi, cara yang ditempuh Barat itu mungkin saja efektif. Akan tetapi, itu bukanlah jalan menuju penyelesaian konflik. Sebab, dengan memasok senjata ke Ukraina, AS dan negara-negara Barat lainnya sama saja memosisikan diri mereka sebagai pihak yang terlibat langsung dalam konflik. Semakin jauh mereka terlibat, semakin terbuka pula peluang untuk perang yang lebih besar, luas, dan lebih lama. Perang yang lebih besar berarti bencana yang lebih besar pula bagi kemanusiaan.

Lalu, peran pihak ketiga seperti apa yang dibutuhkan dalam krisis Ukraina? Sampai sejauh ini, peran juru runding yang dimainkan Turki tampaknya berguna. Sejak pecahnya agresi militer Rusia pada Februari lalu, Ankara telah mengambil posisi sebagai penengah. Di antara hasil penting yang dicapai lewat perundingan tripartit Rusia-Ukraina-Turki beberapa bulan lalu adalah, Moskow setuju untuk membuka kembali ekspor gandum dari Ukraina melalui Laut Hitam. Kesepakatan ini menjadi sangat penting karena akan berdampak pada pasokan pangan global.

Namun, seperti yang pernah dikemukakan Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin (2004), peran juru runding yang dimainkan pihak ketiga juga tidak menjamin terwujudnya penyelesaian konflik, jika kedua pihak yang bertikai sama-sama keras kepala. Apalagi dalam konflik yang tajam seperti pada perang Rusia-Ukraina saat ini, Moskow tentunya tak mau kehilangan muka. Karena itu, yang dituntut di sini bukan sekadar kepiawaian juru runding di meja diplomasi, tetapi juga kelihaian mereka dalam melunakkan hati para pemimpin negara yang berkonflik.***

Editor : Ahmad Islamy Jamil
Artikel Terkait
Nasional
2 hari lalu

Indonesia Kerja Sama dengan Rusia, Bikin Kapal Cepat Ramah Lingkungan

Internasional
2 hari lalu

Gawat! Rusia Siap-Siap Uji Coba Senjata Nuklir

Internasional
2 hari lalu

Putin Tanggapi Serius Rencana Amerika Uji Coba Senjata Nuklir

Internasional
3 hari lalu

Putin Ungkap Kelebihan Drone Torpedo Nuklir Poseidon, Melaju Lebih Cepat dari Kapal Perang

Internasional
4 hari lalu

Rumania Borong 18 Jet Tempur F-16 Belanda Cuma Seharga Rp19.200, Ternyata Bukan untuk Perang

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal