Tammy Vigil, profesor di Universitas Boston yang juga peniliti isu perempuan dalam politik, mengatakan kekalahan Harris menunjukkan bahwa banyak hal yang harus dikerjakan.
"Kekalahan ini menunjukkan bahwa kita masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan di AS dalam hal gender dan ras," ujarnya.
Pandangan lain disampaikan Nadia Brown, direktur program studi perempuan dan gender Universitas Georgetown. Ada yang tak beres dengan keputusan orang-orang dalam menentukan pilihan mereka di pilpres.
Dia menilai Harris merupakan capres yang lebih memenuhi syarat untuk ikut dalam pencalonan. Harris memiliki pengalaman puluhan tahun di pemerintahan, saat menjabat jaksa penuntut hingga berperan di Senat dan Gedung Putih. Kekalahannya menimbulkan pertanyaan, mengapa begitu banyak orang yang justru memilih Trump.
“Kekalahan ini hanya menggarisbawahi jumlah rasisme yang mengakar dan hetero-patriarki kulit putih, supremasi kulit putih yang mengakar di negara ini,” kata Brown.
Menurut Brown, kondisi itu salah satunya disebabkan banyak pernyataan Trump yang menyerang Harris. Trump berulang kali menyebut Harris ber-IQ rendah, cacat mental, bahkan salah satu orang paling bodoh dalam sejarah AS.
Retorika itu, kata Brown, seperti memberi izin kepada para pendukungnya untuk mengabaikan dan merendahkan Harris.
Andra Gillespie, pengamat politik Universitas Emory di Atlanta, mengatakan Harris bukan capres pertama yang menghadapi serangan berdasarkan ras atau jenis kelamin.
Barack Obama, presiden kulit hitam pertama AS, menghadapi pertanyaan berulang tentang negara kelahirannya dan apakah dia seorang Muslim atau bukan. Hal yang sama terjadi pada Hillary Clinton, capres perempuan pertama dari partai besar.
Jika Obama menghadapi tantangan ras dan Clinton soal gender, Harris mendapat masalah lebih besar lagi, yakni kombinasi keduanya. Gillespie mengatakan seksisme yang dihadapi Harris bercorak rasial.
"Ketiganya, karena perbedaan mereka, menghadapi tantangan," ujarnya.
Oleh karena itu belum adanya satu pun perempuan di AS yang menjadi presiden bisa disebabkan faktor keberterimaan gender, ras, atau kombinasi keduanya. Sekalipun kandidat yang maju dalam pilpres adalah perempuan kulit putih, belum tentu bisa memenangkan kursi Gedung Putih karena keberterimaan masih kurang.