Para kritikus menilai, pilpres Mesir penuh dengan kepalsuan karena penguasa selalu membungkam lawan-lawan politik. Selama 10 tahun terkhir, pemerintah menerapkan tindakan keras terkait perbedaan pendapat.
Dua pesaing Sisi dalam pilpres kali ini tidak seorang pun tokoh terkemuka. Sementara itu pesaing terkuat Sisi menarik diri dari pencalonan pada Oktober dengan alasan teror. Dia mengatakan para pejabat dan preman menargetkan para pendukungnya, meski tuduhan itu dibantah oleh komisi pemilihan umum.
Sementara itu sebagian warga Mesir menilai, pilpres kali ini tidak akan membawa banyak perubahan. Bahkan ada warga yang tak mengetahui bahwa proses pemungutan suara sudah dimulai.
"Saya mengetahui ada pilpres, tapi saya tidak tahu kapan. Saya hanya mengetahui hal tersebut karena ada kampanye besar-besaran Sisi di jalanan," kata Aya Mohamed, seorang karyawan swasta di Kairo, dikutip dari Reuters.
Berlatar belakang militer, Sisi memimpin penggulingan Muhammad Mursi, presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis pada 2013. Tokoh Ikhwanul Muslimin itu kemudian dipenjara sebelum meninggal karena sakit parah di penjara. Kemudian dalam pilpres yang kontroversial pada 2018, Sisi menang dengan memperoleh 97 persen suara.
Sejak menjabat, dia mengontrol ketat dan memberlakukan tindakan keras mengincar para aktivis liberal sayap kiri serta kelompok Islam. Berbagai organisasi HAM mwnyebut pemerintahan Sisi telah mememnajarakan puluhan ribu orang. Sisi berdalih, tindakan keras diperlukan untuk menstabilkan Mesir dan melawan ekstremisme Islam.