WASHINGTON, iNews.id - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali membuat panas hubungan dagang dengan China. Kali ini, bukan tarif tinggi atau pembatasan teknologi yang menjadi senjata, melainkan minyak goreng. Dalam pernyataannya, Trump mengancam akan menghentikan seluruh impor minyak goreng dari China sebagai langkah balasan atas keputusan Beijing yang menangguhkan pembelian kedelai asal AS.
Langkah tersebut menandai babak baru dalam rivalitas ekonomi dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Jika sebelumnya perang dagang berkisar pada chip, logam tanah jarang, dan kendaraan listrik, kini bahan pangan sehari-hari pun ikut terseret dalam konflik geopolitik yang kian meluas.
Kedelai Vs Minyak Goreng
Trump menuding China sengaja menghentikan pembelian kedelai AS untuk melemahkan sektor pertanian domestik AS. Dia menyebut langkah Beijing sebagai “tindakan bermusuhan secara ekonomi” yang dirancang untuk menekan petani Amerika.
“Saya yakin China sengaja tidak membeli kedelai kita. Ini serangan terhadap para petani Amerika,” kata Trump, di platform media sosial, Truth Social, dikutip Kamis (16/10/2025).
Sebagai balasan, Trump menyebut Washington tengah mempertimbangkan penghentian total impor minyak goreng bekas (UCO) dari China.
“Kita bisa memproduksi minyak goreng sendiri. Tidak perlu lagi bergantung pada China,” ujarnya.
Sinyal Perang Dagang Babak Baru
Kebijakan ini menunjukkan Trump semakin agresif dalam menekan Beijing. Setelah sebelumnya mengancam tarif 100 persen terhadap produk China, kini dia menargetkan sektor yang sebelumnya tak tersentuh, pangan dan bioenergi.
China selama ini menjadi salah satu pemasok utama minyak goreng bekas ke AS, terutama untuk kebutuhan industri biofuel seperti etanol. Meski sebagian besar pasokan minyak goreng AS berasal dari Kanada dalam bentuk kanola, ketergantungan terhadap impor dari China masih signifikan untuk sektor energi alternatif dan industri makanan.
Dengan kebijakan baru Trump, rantai pasok global berpotensi terguncang. Negara-negara lain seperti Indonesia, Malaysia, dan Brasil bisa menjadi alternatif pemasok minyak nabati ke pasar AS, sekaligus memperkuat posisi mereka di pasar global.