Namun pada 2013, AKP melarang Erdogan menjabat perdana menteri untuk periode keempat. Menghadapi itu dia justru mencalonkan diri sebagai presiden. Untuk pertama kali, presiden Turki dipilih melalui pemilihan langsung, bukan dipilih oleh parlemen.
Erdogan menang dalam pemungutan suara. Kemudian pada 28 Agustus 2014, dia dilantik menjadi presiden Turki.
Segera setelah menjabat, Erdogan mulai menyerukan perubahan konstitusi. Dia berusaha memperluas kekuasaan kepresidenan. Pada 2015, untuk pertama kali, AKP gagal memenangkan suara di parlemen. Hal tersebut dianggap sebagai pukulan terhadap rencana Erdogan untuk memperluas jabatan kepresidenannya.
Lalu di pemilu sela, AKP akhirnya memenangkan suara terbanyak di parlemen.
Setahun kemudian, Erdogan nyaris tak selamat dari upaya kudeta disertai kekerasan. Pelaku kudeta menuduh AKP telah merusak demokrasi dan supremasi hukum di Turki. Namun, kudeta gagal total. Sekelompok jenderal yang melakukan kudeta dikalahkan oleh unit militer yang dibantu warga loyalis Erdogan.
Peristiwa ini menewaskan hampir 300 orang yang sebagian besar merupakan warga sipil.
Keinginan Erdogan untuk memperluas kekuasaan presiden membuahkan hasil pada April 2017. Perubahan besar pada konstitusi yang menghapus jabatan perdana menteri dan memberdayakan presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif dilakukan melalui referendum.
Perubahan tersebut diterapkan setelah siklus pemilu berikutnya yang sempat direncanakan pada November 2019. Namun, pemilu dini dibatalkan, dan pada 24 Juni 2018, Erdogan memenangkan mayoritas suara untuk jabatan presiden.
Setelah dilantik pada 9 Juli, dia mengambil alih jabatan presiden yang sudah diperluas.
Untuk pertama kali sejak AKP meraih kekuasaan pada 2004, hasil pemilu menunjukkan bahwa partai tersebut kehilangan pengaruhnya di lima kota besar, termasuk Ankara dan Istanbul, sehingga memberikan pukulan besar terhadap agenda nasional Erdogan.
Berbulan-bulan kemudian, beberapa petinggi AKP meninggalkan partai tersebut dan menentang kepemimpinan Erdogan.